Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

3.250 Hunian Tetap Penyintas di Sulteng Belum Dibangun

Tiga tahun pascabencana Palu, 3.250 hunian tetap bagi korban gempa dan likuefaksi belum juga terbangun. Konflik lahan menjadi penyebabnya.

PALU, KOMPAS — Sekitar 3.250 hunian tetap relokasi untuk penyintas di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, belum dibangun semenjak gempa Palu tiga tahun lalu. Pemerintah diingatkan agar segera menyelesaikan penanganan bencana.

Data belum terbangunnya 3.250 hunian tetap (huntap) tersebut dikeluarkan Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II. Instansi ini berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang membangun huntap atau rumah untuk penyintas. Dari jumlah tersebut, 750 unit untuk Kabupaten Donggala masih dalam proses lelang. Sisanya 2.500 unit untuk Kota Palu belum bisa dilelang karena masalah penyediaan lahan.

Sementara 1.679 huntap telah dan sedang dibangun di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Huntap yang telah dibangun dan ditempati itu, antara lain, di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, dan Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Huntap lainnya tersebar di berbagai titik dengan skema relokasi mandiri (di lahan penyintas).

Berdasarkan proyeksi, Kementerian PUPR membangun 8.700 huntap di Sigi, Donggala, dan Kota Palu dengan skema relokasi kawasan (komunal) dan relokasi mandiri (di lahan milik penyintas). Penyintas yang huntapnya belum dibangun saat ini tinggal di hunian sementara dan rumah sewa.

Selain dikerjakan PUPR, sebagian huntap relokasi disediakan lembaga sosial. Dalam skema tersebut, tak kurang dari 2.000 huntap telah dibangun dan ditempati.

Di samping skema relokasi, ada juga skema penyediaan huntap dengan dana stimulan. Dalam skema ini, penyintas mendapatkan dana untuk membangun rumahnya di lokasi yang tak dikategorikan zona merah.

Gempa yang diikuti tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi, 28 September 2018 atau tiga tahun lalu. Dalam penanganan pascabencana, pemerintah membangun huntap untuk penyintas yang lokasinya berada di titik terdampak tsunami, likuefaksi, dan sekitar sempadan sesar. Titik-titik tersebut ditetapkan sebagai zona merah yang artinya dilarang untuk pembangunan hunian baru sehingga pemerintah merelokasi pembangunan rumah di lahan baru yang lebih aman.

Kepala Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawsesi II Suko Wiyono menyatakan status lahan untuk pembangunan huntap di Palu, yakni di Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise Valangguni, masih belum bebas dari klaim warga. Pembangunan huntap yang menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia (World Bank) tak bisa diteruskan jika ada masalah sosial, termasuk status lahan.

”Masalah tersebut saat ini diurus oleh Pemerintah Kota Palu. Kami menunggu agar masalahnya selesai sehingga bisa segera dilelang dan nantinya dikerjakan,” kata Suko di Palu, Sulteng, Selasa (28/9/2021).

Terkait hal itu, Wali Kota Palu Hadianto Rasyid menuturkan masalah status di Tondo dan Talise Valangguni sebenarnya sudah beres. Saat ini, pihaknya mengurus administrasi beresnya status lahan untuk pembangunan huntap tersebut sebagai laporan ke Bank Dunia. ”Insya Allah pada Jumat ini kami akan serahkan (laporan tertulis) ke Kementerian PUPR sehingga lelang bisa berjalan,” ujarnya.

Klaim warga atas dua lokasi huntap di Tondo dan Talise Valangguni dengan luas sekitar 100 hektar mencuat sejak awal 2020. Tarik ulur terjadi hampir dua tahun terakhir sampai pada penundaan pembersihan lahan untuk pembangunan huntap tersebut. Warga Kelurahan Tondo, Talise Valangguni, dan Talise mengklaim lokasi tersebut sebagai lahan garapan mereka meskipun sebenarnya lahan berstatus bekas hak guna bangunan (HGB).

Hadianto menyatakan semua pihak harus diakomodasi dalam masalah penyediaan lahan huntap, termasuk penyintas dan warga yang mengklaim lahan. Selain memenuhi persyaratan dari Bank Dunia agar tak ada masalah sosial dalam pembagunan huntap, hal itu juga bentuk antisipasi di masa mendatang. ”Kami tak ingin begitu huntap nanti ditempati, tiba-tiba ada yang menggugat atau klaim lagi. Ini, kan, tak boleh terjadi karena itu kita harus bereskan semuanya,” ujarnya.

Ia mengakui pembangunan hunian tetap memang lambat setelah tiga tahun bencana terjadi. Namun, ia menegaskan selama ini pihaknya bekerja untuk menyelesaikan masalah yang muncul.

Kami tak ingin begitu huntap nanti ditempati, tiba-tiba ada yang menggugat atau klaim lagi. Ini, kan, tak boleh terjadi karena itu kita harus bereskan semuanya.

Pembangunan huntap dalam rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng harusnya rampung pada akhir 2020. Hal itu juga pernah ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja pada 29 Oktober 2020.

Bonifasius (45), penyintas, heran dengan lambatnya penyelesaian masalah lahan untuk pembangunan huntap. Penyediaan lahan huntap seharusnya tak bertele-tele karena lahan itu bekas HGB dan belum ada rumah atau bangunan di situ. ”Masalah bencana ini urusan kemanusiaan yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Soal klaim warga itu urusan lain yang harusnya bisa diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah. Tolong ini harus jadi perhatian pemimpin,” ujarnya.

Direktur Celebes Bergerak, lembaga sosial yang mengawal hak penyintas, Adriansa Manu menyatakan, pemerintah harus mengakomadasi tuntutan penyintas dari skema huntap relokasi beralih ke skema dana stimulan, seperti yang diutarakan penyintas di Loli Tasibura, Donggala. Ini bertolak dari lambatnya pembangunan hunian tetap. Dengan skema stimulan, huntap bisa cepat dikerjakan.

Sumber: kompas.id

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*