Mempertahankan Dan Merawat Benteng Tsunami
Jika kita menyisir wilayah pesisir pantai Teluk Palu, dari jalan lingkar Pantai Barat Kabupaten Donggala menuju Kota Palu dan berlanjut ke jalan trans Palu Donggala, apa terlintas di pikiran kita?. Melihat puing-puing reruntuhan bangunan sisa guncangan gempa dan terjangan tsunami, tentu menyegarkan kembali ingatan akan teguran alam maha dahsyat yang meluluh lantakkan menyapu bersih sepanjang wilayah pesisir Teluk Palu dua tahun silam.
Setelah amukan tsunami menghantam, sebagian besar orang mengira segala apa yang ada di sepanjang pesisir Teluk Palu telah hancur, rata dengan tanah. Tapi tak disangka sebuah perkampungan nelayan di tepi barat Teluk Palu telah selamat dari terjangan tsunami. Hutan banggo (mangrove) telah menjadi benteng, menyelamatkan Kabonga Besar dari petaka bencana tsunami. Rasa syukur tak terhingga dari warga, di Kelurahan Kabonga Besar Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala tidak ada bangunan yang rusak, terlebih lagi tak ada korban jiwa. Tidak sia-sia upaya dari masyarakat Kabonga Besar merawat hutan banggo selama berpuluh-puluh tahun. Demikianlah jika manusia mempertahankan, merawat kelestarian alam dan mengelola secara arif, begitu pula sebaliknya alam akan melindungi manusia dari bencana.
Hutan mangrove tersebut kini dikelola oleh 40 orang warga Kelurahan Kabonga Besar yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Gonenggati Jaya yang bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah melalui unit pelaksana teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banawa Lalundu. Awal bulan Agustus 2017 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meresmikan wisata hutan mangrove Gonenggati Jaya. Sejak saat itu tempat tersebut menjadi salah satu objek wisata pavorit yang murah meriah, baik bagi masyarakat Kabupaten Donggala dan sekitarnya maupun bagi masyarakat yang berkunjung ke Kabupaten Donggala. Pada areal seluas kurang lebih 10 hektar itu mereka juga membuat pembibitan mangrove.
Melihat keseriusan dan antusiasme masyarakat serta perkembangan pengelolaan wisata hutan mangrove Gonenggati Jaya, KLHK melalui Surat Keputusan (SK) Pejabat Pembuat Komitmen Bidang Kelembagaan Penyuluhan Nomor SK.03/WW/PPK3/VI/2018 kemudian menjadikan KTH Gonenggati Jaya sebagai kelompok penerima fasilitasi pembentukan Wanawiyata Widyakarya, sebuah model usaha bidang kehutanan dan atau lingkungan hidup yang dimiliki dan dikelola oleh kelompok masyarakat yang ditetapkan sebagai percontohan, tempat pelatihan dan pemagangan bagi masyarakat luas. Maka tidak heran pada Oktober 2019 Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu FAO bersama pemerintah negara Mozambique melakukan studi banding untuk belajar pengelolaan dan pemanfaatan hutan di lokasi wisata hutan mangrove Gonenggati Jaya.
Namun pengelolaan wisata hutan magrove Gonenggati Jaya kini sedang menghadapi satu ancaman serius, awal Oktober 2019 seorang pengusaha berinisial HA melayangkan gugatan perdata terhadap lima orang pengurus KTH Gonenggati Jaya. Mereka dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dalam mengelola wilayah pesisir pantai. Sementara lokasi tersebut diklaim HA sebagai empang miliknya seluas kurang lebih 15.000 meter persegi. Hal ini didasari Akta Jual Beli (AJB) Penggugat tahun 1984. Bukan hanya itu, HA juga menggugat Lurah Kabonga Besar dan Camat Banawa karena telah membiarkan lahan yang diklaim itu untuk dikelola oleh KTH Gonenggati Jaya.
Pada kegiatan diskusi bersama WALHI Sulteng Jum’at (10/1/2020), ketua KTH Gonenggati Jaya Yuryanto klaim kepemilikan pribadi HA atas wilayah pesisir pantai tersebut tidak memiliki alasan yang kuat. Sebab menurutnya tidak dibenarkan adanya klaim kepemilikan pribadi atas wilayah pesisir pantai. Sebagaimana disebutkan dalam PERPRES No. 51 Tahun 2016 yang dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 (UU WP3K) tentang Batas Sempadan Pantai. Sementara itu pengelolaan yang dilakukan oleh KTH Gonenggati Jaya bukan klaim kepemilikan melainkan hanya hak kelola. Karena KTH Gonenggati Jaya hanya menjalankan mandat dari KLHK untuk mengelola wilayah tersebut.
Lebih lanjut Yuryanto menjelaskan bahwa tidak ada jaminan jika kawasan pesisir pantai dikelola oleh pengusaha akan tetap mempertahankan ekosistem hutan mangrove. Justru sebaliknya cenderung akan menghancurkannya. Bahkan ketika dikelola oleh pengusaha, masyarakat setempat tidak akan bisa lagi mengelola dan mengakses wilayah tersebut secara bebas karena akan dikomersilkan dengan harga yang sangat tinggi. Terlebih lagi dengan hasilnya tidak akan dinikmati oleh masyarakat secara luas dan hanya dinikmati oleh pengusaha secara pribadi.
Selasa besok (14/01/2020) kasus tersebut akan disidangkan kembali di Pengadilan Negeri Donggala. Untuk itu KTH Gonenggati Jaya mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar putusan yang dihasilkan dalam persidangan tersebut mencerminkan putusan yang adil, putusan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas demi mempertahankan kelestarian ekosistem hutan mangrove sebagai benteng perlindungan dari bencana tsunami di masa yang akan datang, sebagai wujud keberpihakan negara terhadap kedaulatan rakyat atas pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Sumber : walhisulteng.com