RTRW Kota Palu Berpotensi Menjadi Mesin Pembunuh?
PALU, Manager Advokasi dan Kampaye Celebes Bergerak, Freddyanto Onora meminta DPR Kota Palu untuk menunda pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu.
Hal tersebut disampaikan Freddy dalam Diskusi Publik dengan tema “Revisi RTRW Kota Palu, Untuk Siapa?” yang diinisiasi oleh sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil, di Hotel Best Western, Kota Palu, beberapa waktu lalu.
Menurut Freddy, Revisi RTRW Kota Palu terkesan kejar tayang, terburu-buru dalam pengerjaannya dan mengabaikan berbagai aspek. Hal ini justru memicu polemik publik dan menimbulkan pertanyaan besar untuk siapa revisi tersebut ditujukan.
“Substansi tata ruang yang kami pahami dan yakini adalah memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dan untuk kepentingan bersama, memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan mengintegrasikan penanggulangan bencana ke dalamnya,” Papar Freddy dalam presentasinya.
Freddy juga menjelaskan berdasarkan analisis spasial secara umum, 49% ruang di Sulawesi Tengah memang ditujukan untuk kepentingan investasi jika dikomparasikan dengan peruntukan lain seperti kawasan hutan dan pemukiman.
“49% ini angka yang besar. Kalau mau disimpulkan, Pemerintah cukup banyak memberikan servis terhadap investasi melalui tata ruang. Sementara, hasil audit tata ruang ATR/BPN pada tahun 2019, Kota Palu dan Donggala menyebabkan kerugian triliunan akibat kesalahan pemanfaatan ruang,” tegasnya.
Menurut hasil audit yang sama juga dapat dilihat, ada pelanggaran kegiatan pertambangan pada kawasan yang seharusnya diperuntukan untuk pemukiman, ruang terbuka hijau dan Zona Rawan Bencana (ZRB). Salah satu yang disoroti adalah daerah Ulujadi dan Watusampu. Kerugian yang disebabkan pun tak main-main.
“Diperkirakan ada 111 hektar yang keliru peruntukannya tapi malah diberikan izin untuk dilakukan pertambangan. Memang Izin ini keluar sebelum UU Otonomi Daerah disahkan sehingga kewenangannya ada di Pusat. Karena kesalahan tumpang tindih penggunaan lahan ini, kita merugi sampai 619 Triliun. Rekomendasi untuk penindakan dan penegakan hukum sudah ada sebenarnya, tinggal tunggu action Pemerintah saja,” jelas Freddy.
Sementara itu, Freddy juga menambahkan bahwa perubahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) beberapa lokasi pasca bencana yang diajukan juga perlu dipertimbangkan kembali sebab proses-proses ini minim sosialisasi dan tidak melibatkan partisipasi publik secara luas.
Lanjutnya, jika semangat tata ruang didasari motif perlindungan terhadap masyarakat dan penataan lingkungan hidup, maka sebaiknya kebijakan yang berujung relokasi sangat penting mendengarkan aspirasi warga yang menjadi objek kebijakan.
Hal krusial lainnya yang menjadi pembahasan dalam diskusi publik tersebut adalah wilayah konsesi PT Citra Palu Mineral (CPM) yang luasannya mencapai 13.000 hektar justru sangat tumpang tindih dengan berbagai kepentingan pemanfaatan ruang.
“Wilayah CPM harusnya menjadi perhatian karena berada dalam zona rawan bencana serta tumpang tindih dengan kawasan suaka alam dan pemukiman. Jika di-overlay ada banyak sekali wilayah sepadan sesar yang masuk dalam wilayah konsesi CPM. Bahkan kalau ditarik garis, jarak antara wilayah konsesi CPM dan Huntap Budha Tzuchi hanya 1,5-2 Km. Ada indikasi terjadi krisis akibat pencemaran air bersih di sana, karena PDAM Poboya yang menyuplai air juga berada dalam daerah yang berpotensi terpapar limbah,” terang Freddy.
Akibat persoalan-persoalan terkait tata ruang ini, Freddy juga meminta Pansus Raperda RTRW Kota Palu agar serius meninjau kembali hasil revisi ini dan mengutamakan kepentingan publik luas. Menurutnya, jika buru-buru disahkan RTRW ini juga rentan menjadi alat untuk menyingkirkan masyarakat dari lahan yang berstatus ZRB. Belum lagi daerah-daerah yang harusnya menjadi zona perlindungan justru dijadikan kawasan budidaya.
Baginya, paradigma pembangunan yang condong pada kepentingan investasi tercermin dalam Revisi RTRW Kota Palu. Hal ini sudah pasti tidak mensejahterakan warga dan bisa menjadi mesin pembunuh yang mengerikan karena tidak hanya menyebabkan konflik atas ruang, tapi juga meningkatkan risiko keselamatan jika terjadi bencana.
“Apakah benar serius kita #JagaPalu kalau kita justru memprioritaskan kepentingan investasi ketimbang perlindungan kawasan?,” kata dia dengan nada tanya. (Arm)
Sumber: celebesta.com