Pengalaman Korban Gempa Bumi dan Tsunami di Donggala
Buruknya penanggulangan bencana di Sulawesi Tengah telah memicu banyak masalah sosial dan ekonomi terhadap penyintas gempa bumi, tsunami dan liquifaksi di Kota Palu, Donggala dan Sigi. Di Kabupaten Donggala, ribuan orang hingga saat ini masih belum mendapatkan hak-hak dasar mereka seperti bantuan hunian tetap, santunan duka dan jaminan hidup.
Wiwin, aktivis kemanusiaan yang juga sebagai korban gempa dan tsunami di Desa Loli Tasiburi, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala menyebutkan bahwa selama ini pemerintah daerah telah mengabaikan hak mereka sebagai korban. Padahal miliaran anggaran telah dikucurkan dari pemerintah pusat baik melalui loan maupun bantuan dari APBN. Namun fakta di lapangan masih banyak korban selamat dari bencana belum mendapat bantuan tersebut.
Berangkat dari itu, ia dan rekan-rekannya membangun organisasi penyintas sebagai wadah bersama dalam memperjuangkan hak-hak dasar korban bencana yang harus dipenuhi pemerintah daerah di Kabupaten Donggala. Dalam prosesnya, Wiwin kemudian memimpin beberapa kali aksi demonstrasi menuntut pemenuhan hak-hak dasar para korban selamat dari bencana alam 28 september 2018 di intansi pemerintahan Kabupaten Donggala seperti kantor Bupati, DPRD Kabupaten dan OPD terkait, bahkan kantor Gubernur Sulawesi Tengah serta DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Pada 27 September 2021, ketika Wiwin dan penyintas lainnya melakukan aksi pemblokiran jalan di Desa Loli Tasiburi.
Ia dan 4 rekan lainnya ditangkap dengan cara-cara kekerasan oleh pihak Kepolisian Resor Donggala karena dianggap melakukan provokasi atas aksi pemblokiran jalan. Tidak lama setelah penangkapan dan kriminalisasi Kepolisian Donggala tersebut, sejumlah kecaman datang dari berbagai kalangan hingga menyebar luas ke Nasional memprotes aksi penangkapan dan kekerasan aparat Kepolisian. Sehingga esoknya, Wiwin dan rekan-rekannya diputus bebas tanpa syarat.