Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

BENCANA DAN MAKSIAT

SETIAP terjadi bencana, banyak yang menyampaikan bahwa bencana adalah bentuk dari peringatan Allah kepada kita terhadap maksiat yang dilakukan. Sering juga kita dengar bahwa bencana adalah ‘azab’ –dengan mengacu pada cerita tentang kaum ‘Ad dan Tsamud dalam Al-Qur’an—karena orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan menolak perintah Allah dan Rasul-Nya.

Hal-hal seperti ini terutama sering kita dengar ketika, misalnya, Jakarta terjadi banjir, gempa bumi dan tanah longsor. Hari-hari ini, kita melihat bahwa Jakarta mengalami banjir yang cukup parah dan membuat banyak daerah vital ibukota terendam. Di Canberra, Sydney, dan Melbourne, Australia, kebakaran semak (bushfire) membuat kualitas udara memburuk, rumah-rumah terbakar, dan banyak manusia dan hewan terdampak. Juga banyak bencana lain yang disebabkan oleh banyak faktor, baik langsung oleh akibat tangan manusia, maupun yang tidak langsung karena pembangunan besar-besaran yang tidak memperhatikan dampak lingkungan.

Pertanyaannya, benarkah bahwa bencana berhubungan langsung dengan maksiat yang dilakukan oleh manusia?

***

Sebelum masuk ke pertanyaan tersebut, kita perlu memperjelas konsepsi tentang ‘bencana’ dan ‘maksiat’ dalam Al-Qur’an. Kita bisa memulai dari Al-Qur’an surah Al-An’am: 663-5, yang sering menjadi rujukan bahwa bencana terjadi karena kemaksiatan. Allah berfirman,

Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dengan suara yang lemah lembut (dengan mengatakan), Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur” (Ayat 63). Katakanlah, “Allah menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kalian kembali mempersekutukan-Nya.” (Ayat 64). Katakanlah, “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kalian dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebagian yang lain.” Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).(Ayat 65).

Ibn Katsir memberikan tafsir yang cukup panjang terhadap ayat ini. Menurut Ibn Katsir, ayat ini terhubung dengan ayat-ayat lain yang pada intinya memberikan beberapa penjelasan tentang hakikat dari ‘bencana’. Pertama, bencana adalah berasal dari Allah, dan diturunkan atas kekuasaan dari Allah. Kedua, Allah menurunkan bencana karena perbuatan manusia. Sebagaimana Allah sampaikan di ayat 64, bencana ini bisa terjadi karena perbuatan yang menyekutukan Allah; tapi juga terjadi (sebagaimana di ayat 65) karena perbuatan manusia yang tidak bersyukur dan berbuat kerusakan di muka bumi. Ketiga, dengan mengutip pendapat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, yang meriwayatkan pendapat Ibnu Abbas, bencana terjadi ‘dari atas’, maksudnya, dari para pemimpin umat manusia, dan ‘dari bawah’ maksudnya, dari orang-orang biasa.

Ada banyak pelajaran yang diambil dari ayat ini. Seringkali, yang disampaikan oleh para penceramah hanya bersifat ‘parsial’ yaitu menekankan sifat manusia yang menyekutukan Allah dan tidak bersyukur ketika diberikan pertolongan. Sehingga, muncullah banyak ‘teori konspirasi’, yang menyebut bahwa bencana terjadi karena maksiat di tahun baru, orang-orang kafir, dan hal-hal yang terkait dengan moralitas individual. Akhirnya, alih-alih menciptakan masyarakat tahan bencana atau memperkuat pengurangan risiko bencana di level pemerintah dan masyarakat, yang terjadi adalah menyalahkan orang-orang yang moralitasnya dianggap bermasalah di masyarakat.

Tetapi tafsir Ibn Katsir sendiri terhadap ayat tersebut bicara tentang konsepsi ‘bencana’ yang lebih luas. Bencana memang terjadi karena azab Allah dan peringatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia, tapi ia sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari kerusakan yang dibuat manusia di muka bumi. Dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum: 41, misalnya, Allah berfirman,

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41).

Ayat ini memperlihatkan kepada kita bahwa bencana adalah konsekuensi logis dari perbuatan manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi. Berbuat kerusakan di muka bumi ini punya variasi yang lebih banyak di era modern –ketika pembangunan ekonomi dilakukan tanpa memedulikan dimensi lingkungan, dan kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja, tapi juga mengeksploitasi sumber daya alam.

Kerusakan di muka bumi ini juga beresonansi dengan apa yang terjadi di Jakarta, Palu, Donggala, Canberra, Sydney, dan berbagai belahan dunia yang lain. Ketika daerah resapan air dibangun pemukiman elit, konsekuensi logis yang terjadi adalah banjir. Ketika lahan-lahan gambut berubah jadi lahan sawit, susah untuk menolak hadirnya kabut asap yang berbahaya bagi kesehatan. Dan ketika pemerintah-pemerintah di berbagai negara melupakan fenomena perubahan iklim dan menolak mengatur industri mereka secara lebih ramah lingkungan, kita hanya akan menyaksikan meningkatnya suhu rata-rata di berbagai negara ketika musim panas.

***

Dalam literatur-literatur kebencanaan, ada pergeseran cara pandang ketika melihat ‘bencana alam’. Kini, banyak peneliti yang menolak istilah ‘bencana alam’ karena pada hakikatnya yang bermasalah bukanlah siklus alam yang melahirkan bencana, tapi respons manusia-lah yang membuat siklus alam menjadi ‘bencana’, baik dalam melakukan pembangunan maupun dalam berhadapan dengan potensi-potensi kerawanan bencana.

Sehingga, apa yang disebut sebagai ‘bencana’ bukanlah karena gejala alam yang kemudian mengganggu eksistensi manusia, tetapi karena interaksi manusia dengan alam, bisa jadi, tidak dilakukan secara bertanggung jawab, dilakukan untuk memenuhi keuntungan secara serakah, dan tidak memperhatikan efek jangka-panjang dari eksploitasi tersebut.

Refleksi Ibn Katsir terhadap Surah Al-An’am ayat 65 tersebut kemudian menjadi perlu kita renungkan. Dengan mengutip pendapat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, di antara ulama lainnya, beliau menafsirkan bahwa bencana alam terjadi karena dua faktor, yaitu ‘dari atas’ (min fauqikum) atau dari bawah kaki kalian (min tahti arjulikum), yang artinya bisa jadi ‘dari pemimpin-pemimpin kalian’ atau ‘dari bawahan-bawahan kalian’. Artinya, bencana terjadi karena mismanajemen yang dilakukan oleh pengambil keputusan, atau karena praktik-praktik keliru yang dilakukan oleh masyarakat biasa.

Kita sering mengambing-hitamkan orang-orang biasa, yang karena pendidikannya atau karena lingkungannya, membuang sampah sembarangan (hingga terjadi banjir) atau berladang secara tidak bertanggung jawab karena mencari nafkah. Tapi seberapa jauh kita kemudian melihat akar masalahnya secara lebih luas, misalnya, pada sejauh mana kurikulum pendidikan memuat problem lingkungan, alih-alih kemudian hanya menyalahkan praktik yang keliru? Bagaimana peran umat Islam untuk mendorong kesadaran untuk peduli terhadap risiko bencana di masjid-masjid?

Belum lagi dengan problem lain yang lebih besar. Seberapa serius, misalnya, pemerintah mencegah deforestasi? Seberapa bertanggungjawab pembangunan dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan? Seberapa besar suara dari komunitas ilmiah dan pegiat lingkungan didengarkan ketika bicara tentang masalah pertambangan dan industri ekstraktif yang berpotensi punya dampak lingkungan besar?

Hal-hal semacam ini seringkali penting ketika kita bicara tentang bencana, tapi luput dibicarakan dalam pengajian-pengajian keagamaan atau khutbah-khutbah Jumat. Padahal, pembangunan yang tidak bertanggung jawab, AMDAL yang bodong, kegagalan memenuhi target pembangunan berkelanjutan, hingga kriminalisasi orang-orang yang membela hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan yang sehat juga adalah bentuk maksiat kepada Allah. Itulah bentuk-bentuk maksiat yang bisa mendatangkan bencana, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maksiat-maksiat semacam ini perlu disampaikan secara lebih luas di masjid-mesjid dan pengajian-pengajian kita. Agar kita semua sadar, bahwa bencana bisa saja datang dari pemimpin yang zalim, atau dari masyarakat yang tidak sadar dengan risiko bencana dan dampak lingkungan

Memperluas cara pandang kita terhadap ‘bencana’ dan ‘maksiat’, oleh karenanya, jadi penting. Tidak hanya maksiat dalam kaitannya dengan moralitas, tetapi juga “maksiat-maksiat struktural” yang terkait dengan interaksi kita sebagai manusia dengan alam, dan interaksi kita sesama manusia. Maksiat semacam ini sering tidak kita sadari, atau mungkin sering tidak berani kita refleksikan karena kekuasaan yang kita miliki.

Di titik inilah, kemudian, merefleksikan tanda-tanda kebesaran Allah menjadi perlu kita lakukan, sebagaimana difirmankan Allah di Al-Qur’an.

***

Akhirul Kalam, saya ingin kembali pada refleksi yang saya berikan di awal tulisan. Bisa jadi, benar adanya jika ada yang berpendapat bahwa bahwa bencana terjadi karena kemaksiatan. Bencana memang terjadi karena maksiat para pemimpin yang mengabaikan AMDAL ketika memberikan izin investasi. Bencana terjadi karena maksiat orang-orang yang mendirikan bangunan di kawasan yang punya risiko bencana, atau maksiat orang-orang yang mengabaikan riset ketika membikin aturan tata ruang/wilayah.

Bencana juga terjadi karena maksiat pemimpin yang lebih berpihak pada pemodal alih-alih masyarakat banyak, anggota legislatif yang tidak punya visi lingkungan/pengurangan risiko bencana, atau birokrat-birokrat yang mengabaikan aspek lingkungan ketika merancang anggaran. Inilah bentuk kemaksiatan yang nyata, “kemaksiatan struktural”, yang mengantarkan pada bencana dan menghasilkan banyak kerugian pada manusia itu sendiri.

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.***

 

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

Sumber : https://indoprogress.com/, 10 Januari 2020

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*