POLEMIK BUMI PERTIWI DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID-19
’Saya tidak pernah merasa takut, tapi kali ini saya benar-benar ketakutan’’ begitu kata Guan Yi seorang ahli virus dari University of Hongkong’s State Key Laboratory of Emerging Infectious Disease, ketika ditanya mengenai pendapatnya atas munculnya virus corona baru oleh salah seorang reporter majalah The Week, pada 24 Januari 2020. Pendapat Guan Yi ini nampaknya sudah menjadi kenyataan, virus corona baru yang dinamai Corona Virus Diasease2019 (Covid-19) benar-benar telah menjadi momok bagi lebih dari 200 negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
World Health Organization (WHO) menjelaskan virus corona adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia. Pada manusia virus corona diketahui menyebabkan infeksi pernafasan, mulai dari flu biasa sampai penyakit yang lebih parah seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS), dan Several Acute Respiratory Syndrome (SARS). Sedangkan Corona Virus Diasease 2019 (Covid-19) merupakan jenis virus corona baru yang di konfirmasi kemunculannya di Wuhan, China pada 31 desember 2019.
Virus Covid-19 menyebar secara masif melalui tetesan air liur atau sesuatu yang keluar dari mulut dan hidung ketika seseorang yang terinfeksi bersin atau batuk. Virus ini juga dapat menempel dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu pada benda mati seperti kain, besi, baja, kayu dan benda mati lainnya, hal-hal inilah yang menyebabkan WHO menetapkan Covid-19 sebagai Pandemi. Negara-negara yang terpapar virus ini melakukan berbagaicara dan gerakan untuk menekan penyebaran virus ini. Di Indonesia gerakan atau cara yang pemerintah tempuh adalah Social Distancing yang kemudian berubah menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar, akan tetapi penyebaran pandemi ini di Indonesia belum ada indikasi mengalami penurunan dari segi jumlah penderita, hal ini menunjukkan bahwa penanganan virus ini di Indonesia belum berjalan lancar dan sesuai sebagaimana mestinya. Sehingga perlu ada pemaksimalan gerakan pencegahan yang didukung dengan kontribusi seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Polemik Bumi Pertiwi Dalam MenghadapiPandemi Covid-19
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Kesehatan Dunia pada Jum’at (3/4/2020), kasus positif dunia dari virus ini telah mencapai angka 1.018.845 kasus. Dari 1.018.845 orang yang terinfeksi, kasus meninggal berjumlah 53.292 orang dan kasus sembuh berjumlah 213.532. Angka tersebut dapat dikategorikan besar jikalau menilik fakta bahwa virus Covid-19 baru tersebar selama 3 bulan dari sejak ditemukan.
Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jum’at 3 April 2020 jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia dikonfirmasi berjumlah 1.986, dengan kasus meinggal dunia berjumlah 181 kasus dan 134 pasien yang dinyatakan sembuh. Perkembangan jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia terbilang sangat cepat semenjak kasus positif pertama dikonfirmasi pada 2 Maret 2020, yang diumumkan langsung oleh Presiden Indonesia Joko Widodo. Selain tergolong sebagai negara dengan pertumbuhan kasus positif yang cepat, Indonesia bahkan menempati urutan pertama dalam presentase kasus kematian akibat Covid-19 ini yaitu 9.11 %. Melihat fakta ini dapat disimpulkan bahwa penanganan Covid -19 di Indonesia belum dapat dikatakan maksimal.
Upaya mitigasi Covid-19 di Indonesia dimulai dengan gerakan Social Distancing, yakni pengurangan interaksi social di masyarakat. Pada dasarnya social distancing merupakan salah satu metode yang terbilang efektif jikalau pemerintah menerapkannnya sedini mungkin setelah kasus positif pertama di konfirmasi.
Seperti yang diketahui bahwa transmisi virus ini umumnya terjadi melalui percikan dari mulut atau hidung ketika seseorang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara sehingga metode ini seharusnya menjadi opsi yang efektif untuk diterapkan. Akan tetapi kenyataannya, pemerintah baru menghimbau masyarakat untuk mengurangi kontak dengan orang lain dua minggu setelah kasus pertama di konfirmasi pada 2 maret 2020.
Selain keterlambatan pemerintah dalam memberi himbauan mengenai social distancing, pemerintah juga dinilai kurang serius dan setengah hati dalam menerapkan program mitigasi tersebut. Dapat dilihat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak mengindahkan himbauan. Ketidak efektifan social distancing yang dilakukan pemerintah dipengaruhi oleh beberapa faktor mulai dari kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat, kondisi ekonomi masyarakat, sampai dengan tidak adanya aturan yang mengikat dan memaksa masyarakat untuk mematuhi himbauan tersebut.
Hingga pada akhirnya, setelah social distancing ini dinilai tidak efektif, pemerintah kemudian menerbitkanPeraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai upaya percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam peraturan tersebut yang dimaksud pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Peraturan mengenai pembatasan sosial bersakala besar merupakan bentuk jawaban pemerintah pusat atas usulan-usulan kepala daerah yang meminta agar dilakukan percepatan penanganan pandemiCovid-19. Kegiatan-kegiatan yang dibatasi dalam peraturan tersebut, meliputi :
- Peliburan sekolah dan tempat kerja
- Pembatasan kegiatan keagamaan
- Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum
Namun, peraturan yang dikeluarkan pemerintah sebagai upaya dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 dalam hal ini pembatasan sosial berskala besar dinilai tidak akan efektif layaknya metode sebelumnya yakni social distancing, karena dalam peraturan yang di keluarkan oleh pemerintah sama sekali tidak memberikan jaminan ekonomi kepada masyarakat terdampak ketika peraturan tersebut di realisasikan. Karena salah satu masalah utama masyarakat tidak memberikan kontribusi dalam upaya pencegahan penyebaran virus ini adalah kondisi ekonomi, yang tidak memungkinkan mereka melakukan pembatasan interaksi dengan orang lain.
Pembatasan sosial berskala besar juga dinilai sebagai ketidakmampuan dan ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi yang dialami bangsa saat ini. Bahkan, beberapa pakar menyebutkan bahwa jikalau hal-hal yang menjadi kendala penerapan pembatasan sosial berskala besar tidak diatasi sebelum diterapkan, terutama masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat, metode tersebut hanya akan memperparah keadaan saat ini, karena memungkinkan penyebaran virus tersebut terus terjadi, dan justru akan mengancam kehidupan banyak orang.
Berdasarkan data yang ada, bahwa daerah dengan potensi penyebaran yang tinggi adalah beberapa wilayah di pulau Jawa. Mulai dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari setengah ekonomi Indonesia bersumber dari pulau Jawa. Hal tersebut memungkinkan banyaknya pekerja dari luar wilayah yang mengadu nasib di wilayah-wilayah tersebut. Penanganan yang tidak tepat dari Pemerintah terhadap wilayah-wilayah dengan potensi penyebaran yang tinggi justru akan memperkeruh kondisi yang ada saat ini.
Ketidaktegasan Pemerintah terhadap penanganan Covid 19 wilayah-wilayah tersebut memungkinkan orang yang terinfeksi akan membawa keluar virus tersebut ke wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sayangnya kekhawatiran itu seakan menjadi nyata dengan berbondong-bondongnya masyarakat dari wilayah zona merah Covid 19 kembali ke daerah mereka masing-masing. Sehingga memungkinkan penyebaran virus tersebut merebak dan menjadi parah di daerah-daerah lain, yang justru akan menambah berat beban pemerintah dalam upaya menekan transmisi Covid-19 di Indonesia.
Melihat keadaan yang ada, metode yang paling tepat diterapkan dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan karantina pada wilayah-wilayah yang dinilai memiliki potensi penyebaran yang tinggi. Metode ini seharusnya sudah menjadi pilihan utama pemerintah dalam menangani masalah ini, karena metode ini akan menekan penyebaran virus tersebut. Karantina wilayah sama halnya dengan lockdown, hanya saja yang membedakan adalah cakupan dalam pelaksanaannya. Karantina wilayah lebih khusus kepada wilayah-wilayah tertentu yang diduga terkontaminasi virus/penyakit sebagai bentuk penjagaan agar virus tersebut tidak menyebar ke daerah lain.
Karantina wilayah di Indonesia telah lama disarankan oleh beberapa kalangan, mulai dari kalangan akademisi sampai kalangan dokter di seluruh Indonesia. Namun, pemerintah seakan menutup mata dan tidak menjadikan karantina wilayah sebagai pilihan penyelesaian pandemi Covid-19. Manuver pemerintah ini didasari fakta bahwa wilayah yang harus di karantina adalah pusat-pusat perekonomian Indonesia. Tidak bisa dipungkiri karantina wilayah akan menurunkan perekonomian wilayah terkarantina secara drastis dan inilah yang Pemerintah khawatirkan.
Pemerintah juga menilai bahwa karantina wilayah yang menjadi sentral perekonomian akan membuat negara Indonesia collaps dari segi ekonomi. Hal inilah yang menjadikan pemerintah tidak memilih opsi karantina wilayah.
Perlu digaris bawahi bahwa dalam konsep penanganan pandemi Covid-19 harus dilihat dari segi hukum sebab-akibat. Pada dasarnya pandemi Covid-19 merupakan sebab terjadinya masalah sedangkan masalah ekonomi merupakan akibat daripada pandemi Covid-19. Jadi, seharusnya dalam kasus ini yang harus menjadi fokus adalah menyelesaikan sebab dan sumber masalah yakni pandemi Covid-19 itu sendiri. Adapun dari sisi akibat tetap perlu di perhatikan tapi tidak bisa dijadikan prioritas dalam upaya penanganan kasus ini.
Di Indonesia, penyelesaian masalah ini terlalu khawatir akan hancurnya perekonomian negara, tanpa melihat efek dari ketidaksigapan dalam menekan penyebaran Covid-19. Bagaimana bisa pemerintah mengkhawatirkan dampak ekonomi dan mengabaikan fakta bahwa penanganan yang setengah hati ini justru akan membahayakan kehidupan bangsa dan mengancam nyawa banyak orang. Sungguh miris menghadapi kenyataan bahwa tampaknya problem perokonomian negara lebih penting daripada menyelamatkan nyawa masyarakat Indonesia.
Padahal sejatinya, semakin cepat siklus penyebarannya di selesaikan, semakin cepat pula pembangunan ekonomi kembali dilakukan.Perlu dijadikan bahan refleksi pemerintah Indonesia pernyataan Presiden Republik Ghana, “ kita tahu cara membangun dan menghidupkan kembali perekonomian, tapi kita tidak tau cara menghidupkan kembali seseorang yang telah meninggal.”
Pola pikir seperti inilah yang seharusnya menjadi dasar penyelesaian pandemi Covid-19, bahwa yang seharusnya menjadi prioritas adalah menyelamatkan nyawa rakyat ketimbang masalah ekonomi.
Berbeda dengan wilayah yang memiliki potensi penyebaran yang tinggi, wilayah dengan potensi penyebaran yang terbilang rendah dalam upaya pencegahan pandemi Covid-19 tidak perlu menerapkan pilihan karantina wilayah, akan tetapi cukup dengan memaksimalkan metode social distancing yang didukung dengan protokol pencegahan yang telah di berikan, seperti mencuci tangan secara berkala, pengurangan kontak fisik dengan orang lain, menghindari kerumunan sampai dengan penggunaan masker dan sarung tangan (jikalau memang perlu berinteraksi dengan orang lain).
Wilayah-wilayah dengan potensi penyebaran rendah seperti di Provinsi Sulawesi tengah dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia, sangat perlu memaksimalkan social distancing dan budaya hidup bersih dalam upaya pencegahannya, karena dapat dilihat masyarakat di wilayah dengan potensi penyebarann yang rendah cenderung mengabaikan dan mengenyampingkan protokol kesehatan yang di berikan. Disinilah peran pemerintah daerah didukung oleh lembaga swada masyarakat (LSM) atau Organisasi Masyarakat (ORMAS) sangat diperlukan dalam mensukseskan penerapan social distancing dan budaya hidup bersih.
Peran pemerintah daerah yang didukung oleh lembaga-lembaga non pemerintah dapat direalisasikan dengan pemberian pengertian dan pemahaman terhadap masyarakat tentang pentingnya social distancing dan budaya hidup bersih. Pemberian pengertian ini bukan diberikan melalui sosialisasi atau kegiatan lain yang memerlukan pengumpulan massa yang besar, akan tetapi pengertian dan pemahaman diberikan dengan melakukan aksi nyata seperti penyemprotan desinfektan di tempat-tempat umum, penyebaran pamflet himbauan, atau dengan menyediakan hand sanitizer dan tempat mencuci tangan di tempat-tempat yang berkemungkinan adanya interaksi sosial.
Aksi nyata ini memang terlihat sederhana akan tetapi aksi nyata seperti ini akan memberi rangsangan kepada masyarakat yang melihat untuk berfikir alasan di balik aksi-aksi tersebut, menjadikan masyarakat mulai menyadari bahaya seperti apa yang sedang dihadapi. Karena pada dasarnya seseorang lebih mudah menangkap apayang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar.
Dapat disimpulkan bahwa dalam penyelesaian masalah pandemi Covid-19 di Idonesia diperlukan kontribusi dan komitmen serius dari semua pihak terkait, baik Pemerintah maupun masyarakat. Jikalau Pemerintah dan masyarakat dapat berkontribusi secara aktif dalam upaya penyelesaian pandemi Covid-19, yakin dan percaya Bumi Pertiwi pasti bisa melewati pandemi yang menguras pikiran dan tenaga ini. Sekian.
Oleh: Ahmad Anshori
Sumber : Sulteng Bergerak
* Penulis sementara menempuh pendidikan pada Program Studi S1 Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertaian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.
* Penulis adalah pemenang terbaik keempat dalam lomba menulis Esai bertema “Penanganan Pandemi Covid-19 di Sulawesi Tengah” yang diselenggarakan oleh Sulteng Bergerak.