Banjir Rob Merendam 8 Desa di Kecamatan Sirenja
PALU – Banjir rob merendam 8 desa di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sabtu (11/1/2020). Delapan desa yang terendam rob, masing-masing; Ujumbou, Tondo, Dampal, Tanjung Padang, Balentuma, Tompe, Lompio dan Lende.
Hikmah (29) warga Desa Tanjung Padang mengatakan, air laut mulai memasuki pemukiman warga sekitar pukul 16.30 WITA, hingga pukul 17.30 WITA. Hingga malam hari, warga yang rumahnya terendam, terpaksa mengungsikan barang-barang berharganya, ke tempat yang lebih tinggi.
Sejarawan maritim Universitas Tadulako (Untad), Wilman D. Lumangino, Minggu (12/1/2020) mengatakan, banjir rob ini selain disebabkan pasang akibat purnama, juga disebabkan oleh datangnya musim pancaroba, yang bisa memicu ombak dengan ketinggian hingga mencapai 4 meter. Banjir rob ini adalah yang paling parah di wilayah Kecamatan Sirenja, sepanjang catatan sejarah.
“Indikasinya, lapangan Tanjung Padang yang agak jauh dari pantai, kini juga tergenang,” ujarnya.
Pengamat kebencanaan Sulteng, Abdullah mengatakan, banjir rob di wilayah Kecamatan Sirenja ini juga dipengaruhi oleh penurunan muka tanah (downlift). Wilayah Sirenja sendiri kata dia, merupakan satu dari 25 titik downlift, yang tersebar di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala, pascabencana 28 September 2018.
Menurut Abdullah, downlift di kawasan tersebut sudah permanen, tidak seperti di Desa Malino, Kecamatan Balaesang, saat gempa bumi tahun 1968, yang sempat tergenang dan kemudian mengalami uplift (penaikan muka tanah) secara perlahan dan pulih seperti semula.
Mantan Dekan FMIPA Untad ini mengatakan, pemerintah perlu menyiapkan lokasi untuk warga yang pemukimannya mengalami downlift. Menilik sejarah kebencanaan di Sulteng, wilayah pesisir kita sangat tidak aman, dengan tiga ancaman bencana yang selalu mengintai, seperti gelombang pasang, abrasi, tsunami, serta downlift.
Sementara itu, sejarawan IAIN Palu, Moh Sairin mengatakan, toponimi (penamaan) wilayah di Kecamatan Sirenja, jika dilihat lebih lanjut, memiliki korelasi dengan fenomena yang terjadi saat ini. Nama Sirenja sendiri kata dia, berasal dari bahasa Tajio, Terenjes atau Sirenjes, yang artinya tanah berlumpur. Lokasi wilayah ini kata dia, terletak di antara Desa Dampal, Sipi dan Jono.
Kemudian nama Tompe yang berasal dari bahasa Kaili Rai, Nitompe, yang artinya dihempas dengan air. Selanjutnya, nama Lompio berasal dari nama tumbuhan sejenis rumput yang hidup di kawasan rawa.
Wilayah Sirenja kata Sairin, dulunya juga merupakan wilayah penghasil sagu terbesar di kawasan Pantai Barat dan Kabupaten Donggala, pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Wilayah hutan sagu ini sendiri kata dosen muda asal Desa Tanjung Padang ini, berubah fungsi menjadi sawah, di antaranya di Desa Dampal, Tompe, Tanjung Padang, hingga Lende, pada era revolusi hijau pada 1970-an hingga 1980-an.
Kemudian, sejarawan mairitim Untad, Wilman D Lumangino menjelaskan, nama Lende berasal dari bahasa Pendau, yang artinya permukaan tanah yang lebih rendah dari permukaan air. Nama Lende juga disebut berasal dari bahasa Mandar, Yende, yang artinya genangan air.
Kedua sejarawan ini menjelaskan, relokasi adalah jalan keluar yang paling masuk akal dari fenomena tersebut. Menurut keduanya, agak sulit untuk merevitalisasi kembali wilayah yang digenangi air laut.***
Penulis : Jefrianto
Editor : Yardin Hasan
Sumber : Kabarsultengbangkit.id