Manipulator Bencana Dalam Revisi RTRW Kota Palu
Setelah bencana alam 28 September 2018, kosa kata baru mengenai bencana dikenal luas oleh masyarakat Kota Palu yang sebelumnya tidak begitu populer. Seperti likuifaksi, mitigasi bencana, tangguh bencana, sesar, Huntap, Huntara, zona rawan bencana dan lain sebagainya. Sekali lagi, atas nama pengalaman bencana alam 28 September 2018, Pemerintah, dari Provinsi sampai pemerintah Kota/kabupaten mempercepat revisi tata ruang, pada awalnya hanya kebutuhan masa berlakunya sudah mulai habis dan perlu Peraturan Daerah (Perda) baru. Diksi kebencanaan itu pun masuk sebagai pertimbangan utama—aspek kebencanaan—ke dalam norma-norma Perda yang berkaitan langsung dengan tata ruang.
Ada 132 pasal dalam Perda Kota Palu Nomor. 16 Tahun 2011 Tentang Tata Ruang Wilayah Kota Palu 2010-2030 (selanjutnya disebut Perda Kota Palu No.16/2011) pada konsideran mengingat Perda Kota Palu No.16/2011 sebagai landasan yuridis mencantumkan 14 (empat belas) peraturan perundan-undangan dan 7 (tujuh) peraturan pemerintah dan 1 (satu) peraturan daerah, yang mempertimbangankan aspek bencana hanya dua pasal, tercantum dalam Pasal 37 point f dan pasal 42.
Sedari awal pembentukan Perda Kota Palu No.16/2011 tidak berpresfektif kebencanaan terhadap penyusunan pola, struktur dan peruntukan ruang Kota Palu, fakta Undang-undang Nomor. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana tidak dimasukan pada landasan yuridis Perda Kota Palu No.16/2011.
Tidak heran kemudian, setelah bencana alam 28 September 2018, Pemerintah Kota Palu, kepemimpinan Politik Hidayat-Sigit Purnomo Said, gagal dalam mengelola bencana 28 September 2018, sebelum terjadi bencana—dokumen perencanaan pemerintah secara menyeluruh– dan tahapan tanggap darurat, sampai dengan carut marutnya pendataan pada tahapan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (RR).
Saat ini sedang ramai untuk memperbaiki kesalahan, revisi Perda Kota Palu No.16/2011 menyandarkan sepenuhnya pada aspek bencana; peta zona rawan bencana, Undang-undang Nomor. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Rencana Induk (Renduk) Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Menduduki ranking satu dalam penetapan norma, pola, struktur dan kawasan ruang Kota Palu.
Kota Palu dalam filosofis ruang tidak ada yang berubah, Perda Kota Palu No.16/2011 mengambil Kota Palu seperti rumah raja dari suku bangsa Kaili, Souraja yang terdiri dari gandaria (daerah depan), tatangana (daerah tengah) dan poavua (daerah belakang). Dalam revisi Perda Kota Palu No.16/2011 mengambil konsep resilience city atau kota yang menghadap ke laut. Terhadap pola ruang tidak ada perubahan dari segi filosofisnya, ada daerah depan, tengah dan belakang.
Revisi Perda Kota Palu No.16/2011 dalam upaya perencanaan meminimalisir resiko dan dampak bencana yang berasal dari alam, natural disaster. Sehingga pola, struktur dan kawasan dipersiapkan untuk bencana alam seperti tsunami bagi daerah pesisir yang terbentang dari Kelurahan Ulujadi sampai dengan Kelurahan Mamboro. Daerah depan Kota Palu. Bencana gempa bumi, merencanakan tidak adanya bangunan/pemukiman di atas sesar aktif. Merelokasi Petobo dan Balaroa karena likufikasi dan ancaman pergeseran tanah.
Natural disaster, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, oleh Direktorat Jendral Tata Ruang Kementrian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 15-16 Oktober 2019 menyatakan dari 7 (tujuh) masalah utama Kota Palu, deret awal adalah rawan bencana, tentu saja yang dimaksud dengan bencana adalah bencana alam. Hal ini juga dapat dilihat pada Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Rawan Bencana Palu Dan Sekitarnya oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Dinas Binamarga dan Penataan Ruang, pada analisis mereka mengenai ancaman tsunami terdapat 5 (lima) tipologi wialyah sempadan pantai yang rawan, sebagai contoh tipologi pemukiman warga yang berada di Kelurahan Lere Kota Palu. Pemukiman menghadap kearah laut yang hanya dibatasi oleh jalan utama.
Daerah depan, atau sempadan pantai teluk Palu, berdasarkan saran dan masukan JICA, ada pembangunan tembok yang melingkari teluk Palu dengan fungsi sebagai penghalang tsunami dan memperlambat menjangkau pemukiman.
Di belakang tembok-tembok itu, direncanakan dibangun gedung bertingkat tiga, disebutkan sebagai kawasan peruntukan pengembangan perdagangan dan investasi. Karena itu, hotel, pusat perbelanjaan dan kawasan pemukiman modern yang dikembangkan oleh perusahaan properti. Tidak bernasib sama dengan pemukiman masyarakat di kampung Lere, relokasi atas dasar tidak layak huni karena masuk pada zona merah.
Mayoritas terbius dengan bencana alam 28 september 2018 yang bermuara pada pola, struktruktur dan peruntukan ruang Kota Palu tangguh bencana, tentu tangguh bencana alam. Sehingga prediksi-prediksi bangunan, pengembangan pemukiman diikutkan pada kesadaran itu.
Revisi Perda Kota Palu No.16/2011 menjadi pintu masuk daerah-daerah rawan bencana diduduki oleh investasi dan menambah daftar bencana, bencana alam dan bencana non alam. Daerah belakang Kota Palu adalah daerah rawan longsor, disini eksis perusahan galian C dan pertambangan emas.
Palu bagian barat, ada perusahaan galian C berdasarkan izin area ekploresinya mengeruk gunung. Perusahaan itu adalah CV. Kawan Kita, CV. Sumber Alam Gemilang, CV. Sumber Batuan Prima, CV. Watu Merimba Jaya, CV. Watu Sinai Abadi, PT. Aces Selaras, PT. Bintang Manunggal Persada, PT. Watu Meriba Jaya, PT. Davindo Jaya Mandiri, PT. Juba Pratama, PT. Mega Jasa Pratama, PT. Nesindo Energi Watu, PT. Optimal Tigabiru Jaya, PT. Optimal TIgabiru Jaya/PT. Juba Pratama, PT. Putra Elan Balindo, PT. Sari Bumi Pertiwi dan PT. Sirut Karya Utama.
Palu bagian timur, ada perusahaan milik Bakri Group yang bergerak pada pertambangan emas, PT. Citra Palu Mineral.
Pada areal eksis izin usaha mereka terdapat sempadan sesar, itu dari segi potensi natural disaster. Potensi bencana non alam yang mereka hasilkan, ini hasil dari dokumen izin lingkungan dan perkawinan dengan Revisi Perda Kota Palu No.16/2011, longsor, pencemaran air, pencemaran tanah dan krisis lahan.
Ini yang tidak dilihat sebagai sumber bencana oleh penyusun Revisi Perda Kota Palu No.16/2011 sehingga yang mereka maksud tangguh bencana hanya diletakan pada tangguh bencana alam, satu sisi yang ditangkap dari pengalaman 28 September 2018. Banjir dan longsor yang terjadi dilingkar izin konsesi akan dianggap bencana alam, bukan pada kesalahan perencanaan tata ruang.
Oleh : Adi Prianto (Kepala devisi Advokasi Sulteng Bergerak)