Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Aliansi Korban Bencana Tolak OMNIBUS LAW dan Tuntut Hak Korban Bencana PADAGIMO

PALU, SULTENGNEWS.COM – Sejumlah massa aksi penyintas dan organisasi pergerakan yang tergabung dalam Aliansi Korban Bencana Bersatu menolak Omnibus dan menuntut hak korban bencana Palu-Donggala-Sigi- Parigi Moutong (Padagimo)

Aksi itu merupakan bentuk kekesalan para korban bencana, setelah hampir 18 bulan berlalu, mayoritas korban bencana Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo) pada 28 September 2018 lalu, masih hidup dalam ketidakpastian dan terlunta-lunta di tenda-tenda pengungsian dan di hunian sementara (huntara) yang sangat jauh dari kondisi layak huni.

“Padahal Kementerian Keuangan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah mengirimkan dana hibah sebesar 1,9 trilliun rupiah kepada Pemerintah Daerah diantaranya Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong sejak Oktober 2019 untuk rumah warga yang mengalami rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Namun sampai sekarang, belum semua mendapatkannya,” sebut Kordinator Lapangan (Korlap), Freddy Onora dalam orasinya di depan kantor DPRD Sulawesi Tengah, Jumat (20/03/2020).

Menurut Freddy, Kabupaten Parigi Moutong tidak ada informasi pasti terkait realisasi dana stimulan tahap II dari total kerusakan sebanyak 5.582 unit.

“Begitu pula dana jaminan hidup (jadup) dan santunan duka yang diperuntukan bagi korban bencana belum terdistribusikan secara merata,” ujarnya.

Menurut dia, berdasarkan laporan gubernur per november 2019, masih terdapat 17.234 penyintas yang belum mendapatkan jaminan hidup dan sekitar 1.277 ahli waris korban meninggal dunia belum mendapatkan santunan duka.

“Sampai hari ini tidak ada lagi pemberian dana jadup dan santunan duka karena alasan dana bantuan dari Kementerian Sosial telah habis,” tutur Freddy.

Dengan kondisi seperti ini kata Freddy, para korban bencana bertahan hidup dengan bekerja serabutan tanpa bantuan modal usaha dari pemerintah.

Ia menegaskan, negara seakan abai dan tak pernah hadir dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk memenuhi hak dasar korban bencana di Sulawesi Tengah. Penyintas dibiarkan bertarung sendiri-sendiri mencari sesuap nasi di tengah krisis multidimensi pasca bencana.

Sementara DPRD dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, sedang giatnya merancang perubahan kebijakan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Disamping tidak memiliki perspektif kebencanaan, Perda RTRW yang sementara digodok hanya menyediakan ruang seluas-luasnya bagi kepentingan investasi.

“Di Kota Palu Pemerintah merencanakan akan menjadikan wilayah pesisir sebagai teras Kota Palu menjadi wilayah zona perdagangan, jasa dan industri. Zona merah yang akan ditetapkan melalui Rancangan Peraturan Daerah RTRW Kota Palu, bagi kami akan menjadi alat untuk merampas pemukiman dan ruang penghidupan rakyat yang justru dialihkan untuk kepentingan investor,” jelas dia.

Lebih lanjut, Freddy mengungkapkan, hal tersebut sejalan dengan kebijakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law yang juga sementara dalam proses pembahasan di tingkat nasional oleh pemerintah pusat dan DPR-RI.

“Bilamana RUU Omnibus Law ini ditetapkan, maka ancaman serius bagi ruang penghidupan rakyat semakin terancam. Karena kebijakan tersebut dibuat dalam rangka memudahkan dan memperlancar keran masuk bagi investasi,” katanya.

“Terlebih lagi dengan kondisi kerentanan yang dialami korban bencana dengan merebaknya pandemik Covid-19 yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional non alam,” sambung Freddy.

Menyikapi situasi itu, gabungan dari organisasi masyarakat sipil yang selama ini bekerja melakukan pendampingan terhadap korban bencana, organisasi mahasiswa dan warga korban bencana menuntut segera mencairkan dana stimulan tanpa tahapan dan tanpa syarat kepada korban bencana, berikan kebebasan kepada penyintas untuk memilih relokasi atau dana stimulant.

Menurut Freddy, Aliansi Korban Bencana Bersatu menuntut, berikan segera dana santunan duka kepada keluarga/ahli waris penyintas yang meninggal dunia, segera berikan Jadup kepada korban bencana tanpa diskriminasi, melibatkan masyarakat dalam melakukan validasi data dan penyaluran bantuan secara partisipatif, hak keperdataan korban tidak boleh dihilangkan dan tetap melekat pada korban.

“Berikan kepastian hukum atas kepemilikan huntap, berikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap perempuan dan anak serta disabilitas korban bencana, serta libatkan masyarakat dalam penyusunan Ranperda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota,”tandasnya.

“Laksanakan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 02 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana,tolak Rancangan Undang-undang Omnibus Law, bentuk Gugus Tugas Untuk Penanganan Virus Covid-19 di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten dan Kota,”tutupnya. DAL

Sumber : sultengnews.com

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*