Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Bencana Non Alam Itu Bukan Isapan Jempol

Merebaknya pandemic Covid-19 diseluruh dunia membuka kesadaran bahwa manusia terkepung atas dua bencana, alam dan non alam. Kali ini non-alam, tidak mengenal batas Negara, usia atau golongan kelas dalam masyarakat. Ada yang menyerah, ada yang membangun solidaritas global, ada yang mencoba monopoli vaksin anti covid-19, ada yang menyediakan pinjaman hutang dan lain sebagainya.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan: bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.  Terhadap Covid-19 masuk dalam kategori epidemi, dikutip dari tagar.id epidemi adalah penyakit menular yang berjangkit cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban. Sementara merujuk pada KBBI mendefinisikan wabah adalah penyakit menular yang berjangkit cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah luas.

Merujuk pada data yang dikeluarkan oleh Pusdatina Sulawesi Tengah per 23 Maret 2020 jam 16.00 wita, Sulawesi Tengah memiliki Orang Dalam Pengawasan (ODP) sejumlah 17 (tujuh belas) orang, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sejumlah 11 (sebelas) orang. Dengan sebaran Kota Palu sejumlah 5 (lima) ODP, 6 (enam) PDP (2 negatif). Kabuapten Sigi sejumlah 1 (satu) PDP, Kabupaten  Parimo sejumlah 2 (dua) ODP. Kabupaten Poso sejumlah 1 (satu) ODP dan 1 (satu) PDP, Kabuapten Touna sejumlah 3 (tiga) ODP dan 1 (satu) PDP (1 negatif). Kabupaten Toli-toli sejumlah 1 (satu) PDP, Kabupaten Banggai sejumla 5 (lima)ODP dan Kabupaten Morut sejumlah 1 (satu) ODP.

Melihat data yang dipublikasi tersebut tanpa nalar yang kritis, akan mensirnakan rasa cemas, sebahagian Kota di Kabupaten Sulawesi Tengah belum ada yang menghawatirkan mengenai positif Covid-19.

Melihat gejala masyarakat terhadap himbauan Negara melalui Pemerintah Provinsi dan kabupaten terkait memutus rantai penyebaran Covid-19 dengan meniadakan perkumpulan orang atau mengerahkan banyak manusia pada satu tempat. Respon masyarakat umum masih sangat rendah, ini bukan semata kesalahan dialamatkan kepada masyarakat secara tunggal.

Rendahnya respon masyarakat bisa jadi berlaku juga dari atas, dari standar penanganan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) yang memiliki pengalaman bencana non-alam, terbatasnya Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang dikhususkan pada pandemi Covid-19 dan penyebaran informasi yang tidak tersentralisitik. Pilihan hanya satu, untuk menundukan tingkat kesadaran masyarakat terhadap tetap tinggal di rumah dan tidak berkumpul pada caffe, warkop dan atau pertemuan resmi yang mengerahkan banyak orang, adalah dengan cara represif yang terukur, tiga hari belakangan sudah terlihat langkah ini, pihak Polri menghimbau disegala keramaian, menindak tegas aksi demonstrasi yang tetap memaksa setelah ada maklumat Kapolri.

Terlepas dari langkah tersebut disetujui atau ditolak, langkah tersebut dikembalikan kepada masyarakat umum, semua lapisan, kelas dan golongan masyarakat.

Antara bencana alam dan non-alam membentuk kesadaran masyarakat umum, bencana alam wujudnya dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Misalkan kejadian tsunami dan likuifaksi di  Palu 28 September 2018. Kejadian tersebut membentuk pengalaman masyarakat umum yang termanifestasikan pada ketertiban untuk tidak menempati zona merah yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pademi Covic-19 yang termasuk bencana non-alam, tidak terlihat oleh masyarakat umum, dalam sejarah dan pengalamannya belum pernah memiliki atau mengalami bencana non-alam yang sama kurun 20 (dua puluh) tahun terakhir. Tahun 1911 wabah pes menyerang pulau Jawa, wabah itu tidak pernah tercatat dalam sejarah masuk ke Sulawesi Tengah, ini yang membuat keyakinan penulis, mayoritas masyarakat hanya patuh pada protokol bencana alam.

Oleh: Adi Prianto
(Kepala Devisi Advokasi Sulteng Bergerak)

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*