Kapitalisme Rakus di Wabah Corona
Dalam pengantar buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, Fred Magdoff dan John Bellamy Foster (2017) menyitir Teorema Ketidakmungkinan dari Herman Daly, yang menyatakan bahwa ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tidak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Teorema ini berangkat dari pandangan mustahilnya ihwal memperluas modus produksi dan konsumsi rakus gaya Amerika Serikat karena dunia telah berada di ambang batas daya dukungnya. Namun, apa yang terjadi saat ini, baik di negara kapitalis utama maupun kapitalisme pinggiran seperti Indonesia, pertumbuhan justru digenjot dan eksploitasi sumber daya ditingkatkan. Mitos pertumbuhan diabaikan, seolah-olah dunia masih penuh dengan sumber daya bagi tujuh miliar kepala lebih saat ini.
Sulit sekali untuk mengingatkan kembali bahwa kapitalisme yang memuja produksi dan konsumsi tanpa batas (bukan berdasarkan kebutuhan) dan akumulasi kapital sebesar-besarnya merupakan sumber masalah pada lingkungan dan manusia saat ini. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2018) menyampaikan kembali bahwa salah satu ancaman terbesar bagi ras manusia saat ini adalah virus-virus baru yang tak diketahui dari mana asalnya.
Sejak wabah sindrom saluran pernapasan akut (SARS), flu burung, ebola, dan flu babi, kita telah menyaksikan virus ini menjadi semakin kuat dan globalisasi semakin memudahkan penyebarannya. Semua virus itu berhubungan dengan satwa. Artinya, ada interaksi antara manusia dan non-manusia yang seharusnya tidak terjadi, seperti layaknya pada masa sebelum ada domestikasi dan perdagangan satwa.
Saat ini satwa tak hanya berinteraksi dengan manusia, tapi juga berebut ruang dengan manusia. Alokasi modal alam yang seharusnya untuk satwa liar terserap habis untuk ekonomi manusia (Zcech dan Daly, 2017). Akibatnya, semua elemen ekologi saling terhubung. Hilangnya satu rantai dalam siklus alami satwa akibat campur tangan manusia menciptakan celah yang akhirnya memukul balik manusia.
Momen perang global melawan pandemi Covid-19 ini semestinya menjadi kesempatan bagi para pemimpin dunia dan kita selaku ras manusia untuk berhenti sebentar, merendahkan hati di depan alam, untuk tidak berlaku business as usual. Angka 5.000 atau 8.000 orang yang tewas bukan hanya statistik. Mereka korban dari kerakusan sistem produksi kapitalisme dan konsumerisme gila-gilaan di seluruh dunia. Saatnya untuk menanggalkan keangkuhan kita dan meninggalkan mitos pertumbuhan yang sesat.
Dengan kegundahan seperti itu, tersiar kabar bahwa pemerintah sedang “wakuncar” dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional untuk mendukung percepatan implementasi omnibus law. Undang-undang sapu jagat ini adalah instrumen untuk percepatan pertumbuhan, akumulasi investasi berbasis industri, dan cara cepat untuk mendapatkan pendapatan bagi negara. Watak regulasi ini adalah pro-modal dan pro-utang, yang berimplikasi langsung pada sumber daya alam. Jika omnibus law tetap dilaksanakan, sumber daya alam kembali akan diusik serta ketegangan antara manusia dan alam kembali menguat.
Dari kacamata studi bencana, ini sama saja dengan membesarkan ancaman dan meningkatkan kerentanan. Kapitalisme bencana, seperti dikonsepsikan oleh Naomi Klein dalam Shock Doctrine (2007), menemukan momentum yang tepat. Saat energi dan perhatian semua orang terfokus pada wabah corona, omnibus law justru berjalan tanpa koreksi dan bencana akan menjadi alasan bagi kapital untuk masuk lebih deras dan menghancurkan manusia dari struktur kelas rendah dan negara terlemah.
Karena itu, setidaknya ada empat hal yang mesti dilakukan setelah pandemi Covid-19 tertangani. Pertama, pemerintah berani menetapkan untuk menghentikan pertumbuhan sebagai acuan ekonomi. Saatnya Indonesia mempraktikkan degrowth atau pertumbuhan relatif nol dengan mengoptimalkan kembali pemenuhan kebutuhan sumber daya secara lokal-nasional sesuai dengan kebutuhan dalam negeri dan surplus sebagai bahan ekspor. Singkatnya, pemerintah mengimplementasikan ekonomi berbasis keberlanjutan sumber daya. Di tingkat praktis, pemerintah tidak memaksakan penetapan omnibus law sebelum ada kajian akademis multidisiplin yang memadai dan bermuatan mitigasi berbasis risiko.
Kedua, pemerintah lebih melakukan konservasi terhadap sumber daya alam hayati ketimbang eksploitasi besar-besaran. Seluruh dunia kini mengalami guncangan. Negara yang masih memiliki tingkat keamanan pangan dan sumber daya yang tinggilah yang punya kekuatan bertahan. Indonesia berpeluang membangun competitiveness dari sini tanpa harus mendasarkan diri pada industri ekstraktif berbasis investasi dan utang.
Ketiga, belajar dari wabah di Cina, Vietnam, dan Kuba, kunci sukses keluar dari krisis adalah kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, tindakan cepat sebelum keresahan sosial terjadi, dan kepercayaan pada sains untuk menyelesaikan masalah. Indonesia diharapkan memperbaiki tata laksana mitigasi risiko masif seperti ini secara terlembaga.
Keempat, ini periode terakhir kepemimpinan Joko Widodo. Suatu penghargaan dan citra positif pada pemimpin bisa diperoleh jika ia mampu mengantar seluruh bangsa keluar dari krisis serta mengajak bangkit di atas kekuatan sendiri, bukan dengan infrastruktur dan tabungan negara yang besar tapi rapuh karena utang luar negeri.
Namun, jika tetap berkeras dan tidak belajar dari corona, Indonesia sedang menggali kuburnya sendiri. Semoga bangsa ini dilindungi dan dijauhkan dari keputusan-keputusan yang salah oleh pemimpinnya.
Oleh: Yoppie Christian
Sosiolog dari Fakultas Ekologi Manusia IPB
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1325841/kapitalisme-rakus-dan-wabah-corona/full&view=ok