Korban Bencana Kembali Bergerak Tuntut Pemenuhan Hak, Tolak RUU OMNIBUS LAW
Palu- Pagi buta Jum’at (20/03/2020) puluhan penyintas Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi bergegas dari hunian sementara (huntara), tenda-tenda pengungsian menuju taman GOR Kota Palu. Begitu pula para pekerja kemanusiaan dan mahasiswa dari berbagai organisasi. Mereka hendak melakukan aksi unjuk rasa menuntut pemenuhan hak korban bencana dan menyuarakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law yang sementara dibahas pemerintah pusat dan akan disahkan oleh DPR RI. Tak lupa sebelum memulai aksi, petugas medis dari mahasiswa akademi menyemprotkan hand sanitizer ke tangan masing-masing peserta aksi dan aparat Kepolisian yang bertugas mengawal jalannya aksi demonstrasi. Penyemprotan antiseptik ini merupakan protocol massa aksi untuk mencegah penularan pandemi Covid-19.
Tidak seperti biasanya, kali ini mereka bukan hendak bernegosiasi tapi ingin menegaskan sikap mosi tidak percaya terhadap pemerintah dan legislatif, baik pusat maupun daerah. Karena selama ini pemerintah dan legislatif sebagai penyelenggara negara telah abai menunaikan kewajiban konstitusionalnya dalam pemenuhan hak korban bencana Padagimo 28 September 2018. Sejak 18 bulan ini, para penyintas telah menempuh berbagai cara menuntut negara melaksanakan tanggungjawabnya namun tak perna mendapatkan respon baik. Mulai dari langkah-langkah formal, administratif, forum-forum dialog hingga beberapa kali aksi demonstrasi, pemerintah seakan tak pernah menunjukkan empati dan kepeduliannya.
Sekira pukul 09.30 puluhan massa aksi Aliansi Korban Bencana Bersatu bergerak menuju depan kantor DPRD Kota Palu. Freddy Onora, selaku koordinator lapangan dalam orasinya menyampaikan tuntutan agar pemerintah daerah segera mencairkan dana stimulan tanpa tahapan dan tanpa syarat kepada korban bencana, termasuk memberikan kebebasan kepada para penyintas memilih berdasarkan keinginannya apakah mereka mau direlokasi atau membangun rumah sendiri melalui dana stimulan. Dia juga menyeruhkan pentingnya solidaritas lintas sektor untuk saling peduli atas penderitaan bersama. “Masalah kita sama, penderitaan ini tidak lahir sendiri tetapi diciptakan oleh sistem yang dominan saat ini. Negara turut menciptakan penderitaan kita bersama, seperti yang dialami oleh seluruh penyintas di Padagimo yang justru dijadikan ladang keuntungan bagi segelintir orang.” Tegas Freddy
Selain itu, dia juga mengatakan agar pemerintah daerah memberikan kepastian hukum kepemilikan huntap kepada penyintas yang terpaksa direlokasi. “Jangan sampai mereka hanya tinggal selama 10 tahun, setelah itu mereka tidak punya hak lagi tinggal huntap.”
Lebih lanjut, Freddy menyeruhkan tuntutan para penyintas agar pemerintah daerah segera mencairkan sisa dana jaminan hidup (Jadup) dan santunan duka yang belum disalurkan merata. Sampai saat ini menurutnya masih terdapat 17.234 penyintas yang belum mendapatkan Jadup dan sekitar 1.277 ahli waris korban meninggal dunia juga belum mendapatkan santunan duka.
“Hampir 18 bulan korban bencana, selama ini hidup terlantar di huntara dan tenda pengungsian. Karena itu pemerintah harus segera mencairkan dana jaminan hidup kepada korban bencana tanpa diskriminasi. Pemerintah juga harus melibatkan masyarakat dalam melakukan validasi data dan penyaluran bantuan secara partisipatif.” Kata Freddy
Dalam orasinya, Freddy juga menegaskan agar pemerintah tidak menghilangkan hak atas tanah bagi korban tsunami dan likuifaksi yang saat ini ditetapkan pemerintah sebagai zona merah. Jika pun, pemerintah merelokasi mereka, maka pemerintah tidak boleh secara sepihak mengambil alih tanah tersebut tanpa ganti rugi.
***
Gerimis hujan tak menyulutkan semangat massa aksi. Dari depan taman GOR, dengan iringan lagu berjudul “Darurat” dari group band indie Kota Palu Culture Project massa aksi kemudian bergerak berkonvoi menuju kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Disana para perwakilan organisasi kemanusiaan, mahasiswa dan perwakilan penyintas bergantian melakukan orasi.
Adriansa Manu, Koordinator Sulteng Bergerak dalam orasinya menyampaikan bahwa Kementerian keuangan melalui BNPB telah mengirimkan dana hibah sebesar 1,9 trilliun rupiah kepada pemerintah daerah diantaranya Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigi Moutong sejak Oktober 2019 lalu. Dana itu menurutnya diperuntukan bagi korban bencana yang mengalami rumah rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Disamping itu, Adriansa juga menyebut bahwa pemerintah daerah sebelumnya telah menerima dana hibah dari luar negeri sebesar 235 milyar rupiah yang diperuntukan untuk dana stimulan bagi korban bencana di Sulawesi Tengah.
Selain itu, menurutnya realisasi dana stimulan tahap II yang berasal dari dana hibah Kementerian Keuangan hingga maret 2020 di kota Palu baru sekitar 2000-an lebih kepala keluarga (KK) dari total kerusakan sebanyak 55.102 unit rumah rusak berat, sedang dan ringan. Di kabupaten Sigi dari total kerusakan sebanyak 28.152, terealisasi sekitar 272 KK dan kabupaten Donggala belum terealisasi dari 21.378 unit rumah rusak berat, sedang dan ringan. Sementara kabupaten Parigi Moutong tidak ada informasi pasti terkait realisasi dana stimulan tahap II tersebut dari total kerusakan sebanyak 5.582 unit.
Olehnya, Adriansa kembali menegaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pemenuhan hak korban bencana Padagimo. Begitu pula dana Jadup dan santunan duka yang diperuntukan bagi korban bencana belum semuanya diberikan kepada penyintas. Sampai hari ini tidak ada lagi pemberian dana jadup dan santunan duka karena alasan dana bantuan dari Kementerian Sosial telah habis.
Sementara itu, Richard Labiro, Manager Pengorganisasian Yayasan Tanah Merdeka menyoroti Ranperda RTRW Provinsi dan Kabupaten Kota yang dinilainya hanya memberikan ilusi rasa aman dan berpihak kepada investor. Hal tersebut didukung dengan RUU Omnibus Law dan Cipta Kerja yang sementara digodok oleh DPR RI. Kedua rancangan aturan tersebut akan menyingkirkan rakyat dari ruang penghidupannya. Sehingga kedepan akan menimbulkan ledakan konflik agraria yang massif di Sulawesi Tengah dan Kota/kabupaten.
“RUU Omnibus Law wajib ditolak seluruh elemen masyarakat petani, buruh dan rakyat miskin yang akan dirugikan oleh kebijakan ini.” Tegas Ricard
Aliansi Korban Bencana Bersatu juga menuntut agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan membentuk Gugus Tugas Untuk Penanganan Virus Covid-19 di Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten dan Kota.
Sebagaimana diketahui Aliansi Korban Bencana Bersatu merupakan gabungan dari organisasi kemanusiaan, organisasi mahasiswa, penyintas dan seniman. Organisasi tersebut diantaranya Sulteng Bergerak, Yayasan Tanah Merdeka (YTM), SMIP Sulteng, Indonesia Bangkit, Himasos Untad, Himap Untad, FMN Cabang Palu, band indie Culture Project, Arus Tengah dan Polisi Tidur. Jelang siang sebelum kembali ke posko Sulteng Bergerak, korlap aksi kembali menegaskan bahwa bilamana tuntutan penyintas tidak direalisasikan oleh pemerintah maka mereka akan turun dengan massa aksi yang lebih banyak.
Sumber : Sulteng Bergerak