Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Penanganan Bencanan Menguntungkan Segelintir Lembaga Non-Negara

Gambar: Diskusi Bencana dan Kapitalisme: Sisi lain di balik aksi Humanitarian dan Rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah”, pada Rabu, 22 januari 2020 di kantor YTM. (Foto Sulteng Bergerak).

 

Palu-Sulteng Bergerak dan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) menggelar diskusi bertema “Bencana dan Kapitalisme: Sisi lain di balik aksi Humanitarian dan Rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah”, pada Rabu, 22 januari 2020 di kantor YTM.

Peneliti senior, Arianto Sangadji selaku pemantik dalam diskusi itu menyampaikan bahwa penanganan bencana di Sulawesi Tengah menguntungkan beberapa aktor. Ia menyebut Bank Dunia, ADB dan JICA adalah aktor yang paling diuntungkan dalam penanganan bencana, terutama dalam rekonstruksi dan rehabilitasi.

“Betul mereka membantu kita, tetapi itu tidak gratis. Mereka dapat untung besar dari kegiatan itu. Lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan ADB, dapat interest (bunga) besar dari hutang yang mereka pinjamkan kepada pemerintah Indonesia untuk membangun sejumlah infrastruktur dan lainnya, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah saat ini.” Kata Arianto

Ia mengatakan bahwa anggaran yang digunakan pemerintah dalam pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah sebagian besar berasal dari dana loan(hutang).

Menurut Arianto, dana infrastruktur menempati posisi teratas bersumber dari dana loan sejumlah institusi keuangan dunia. Termasuk pembangunan beton untuk tanggul di pesisir teluk palu dan juga pembangunan hunian tetap serta relokasi penyintas dari pemukiman lama yang dianggap rawan bencana.

Selain itu, Arianto juga menjelaskan bahwa perusahaan asuransi ikut meraup untung dari bencana. “Keuntungan mereka berasal dari asuransi sejumlah perusahaan industri, perhotelan, perumahaan, capital dagang dan termasuk rumah orang-orang kaya.” katanya

Ia mengatakan lembaga asuransi bekerja memperdagangkan resiko, dimana semua perusahaan membayar premi sebelum bencana terjadi. Dari situ mereka memperoleh keuntungan besar karena perusahan-perusahaan yang membayar asuransi membayar lebih besar dari pada klaim mereka saat terjadi bencana.

Namun demikian, kata Arianto keduanya tetap diuntungkan karena perusahaan yang membayar resiko bisa mengklaim dana asuransi jika sewaktu-waktu perusahaannya mengalami kerusakan ketika terjadi bencana. Sebab kata dia, perusahaan yang mengalami kerusakan itu bisa membangun kembali usahanya melalui dana asuransi tersebut.

Misalnya kata dia, di Kabupaten Donggala pasca gempa bumi 28 september 2018 sejumlah perusahaan telah melakukan klaim asuransi sebesar Rp. 717,0 triliun. “Artinya mereka masih tetap dapat membangun usahanya, meski sempat terhenti.”

Dengan demikian, kata Arianto bencana seperti yang terjadi 16 bulan lalu di Sulawesi Tengah erat kaitannya dengan sitem yang saat ini mendominasi yakni kapitalisme neoliberal. Kata dia, untuk mengerti duduk masalahnya perlu pendekatan kritis. Misalnya, pendekatan ekonomi dan politik, pendekatan ini mengarahkan kita untuk melihat masalahnya secara mendalam. “Tidak saja fenomena yang terjadi saat ini, tapi jauh sebelum itu juga harus menjadi titik perhatian kita.”

Dalam pemaparannya, Arianto mengajak peserta untuk melihat pembangunan sebelum gempa 28 september 2018 yang dianggapnya sangat pro pasar. “Kita bisa lihat pembangunan di Kota Palu, dimana semua hal dikorbankan untuk kepentingan para pemilik modal katakanlah seperti pembangunan BTN di wilayah yang berpotensi bencana likuifaksi.”

Padahal, kata dia sebelum bencana sudah banyak literatur yang diterbitkan oleh sejumlah ahli. Tetapi, menurut Arianto semua penelitian itu tidak digunakan sebagai aspek yang penting dipertimbangkan dalam perencanaan dan pembangunan di Kota Palu dan sekitarnya.

“Tidak heran, jika banyak orang terbunuh saat terjadi gempa bumi besar pada 2018 lalu, karena kebijakan tata ruang kita lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dari pada keselamatan warganya.” Terang Arianto

Lanjut Arianto, semua masalah tersebut mesti dilihat sebagai bagian yang tertanam dalam sistem kapitalis dimana penanganan bencana dimanipulasi untuk memajukan kepentingan ekonomi dan politik bersama kelas kapitalis. Selain itu, peran Negara juga diambil alih dalam penanganan bencana melalui aksi-aksi humanitarian dan rekonstruksi seperti yang terjadi saat ini di Sulawesi Tengah.

Sehingga kata dia, masyarakat sipil dan sejumlah organisasi masyarakat harus memperkuat Negara untuk mengambil kembali kewenangannya dalam penganan pascabencana di Indonesia. “Kita juga harus refleksi, jangan-jangan selama ini kita turut serta melemahkan peranan Negara dalam pelayanan publik termasuk penganan pascabencana.” Katanya

Sumber : Sulteng Bergerak

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*