PROBLEM POKOK PENANGANAN PANDEMI COVID-19 DI SULAWESI TENGAH
Beberapa bulan terakhir sejak Desember 2019 masyarakat dunia sedang menghadapi sebuah bencana non alam yang sangat besar. Sebuah virus mewabah dari Kota Wuhan China dan terus menginfeksi, kian hari semakin meluas sebarannya. Bagaimana tidak negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja yang merupakan negara adidaya raksasa ekonomi dunia terguncang tak berdaya menghadapi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Bahkan santer terdengar kabar dari berbagai media internasional, China yang sebelumnya dengan bangga berkampanye telah pulih dari virus berbahaya ini kembali mempersiapkan diri menghadapi gelombang kedua penularan Covid-19. Hingga 8 April 2020 sebuah situs data online berbasis sistem informasi geografis John Hopkins menginformasikan bahwa kasus Covid-19 di dunia telah mencapai 1,4 juta lebih.
Pemerintah negara-negara di dunia dan masyarakat dibuat kelabakan menghadapi pandemi dengan nama baru tersebut. Nama corona virus berasal dari bahasa latin corona yang artinya mahkota, yang mengacu pada tampilan partikel virus (virion) mereka memiliki pinggiran yang menyerupai mahkota atau biasa disebut “korona matahari”. Virus corona termasuk kelompok superdomain biota, kingdom virus. Virus corona adalah kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales. Semua virus dalam ordo Nidovirales adalah non segmented positive-sense RNA viruses. Virus corona termasuk dalam familia Coronavidae, sub familia Coronacvirinae, genus Betacoronavirus, subgenus Sarbecovirus.
CoVs adalah virus RNA (ribonucleic acid) untai positif. Ortocoronavirinae dari family coronaviridae yang diklasifikasi menjadi empat generasi CoVs yaitu Alphacoronavirus (AlphaCoV), Betacoronavirus (BetaCoV), Deltacoronavirus (DeltaCoV) dan Gammacoronavirus (GammaCoV). Selain itu genus BetaCoV terbagi menjadi lima sub generasi atau garis keturunan. Karakter genomic telah menunjukkan bahwa kelelawar dan hewan pengerat adalah sumber gen AlphaCoV dan BetaCoV. Sebaliknya, spesies burung mewakili sumber gen DeltaCoV dan GammaCoV (Chan. J.F, 2013). Kelompok virus ini dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia (termasuk manusia). Pada manusia coronavirus menyebabkan infeksi saluran pernapasan seperti halnya SARS, MERS dan Covid-19 yang sifatnya lebih mematikan.
Catatan sejarah kemunculan Covid-19 berawal di bulan Desember 2019. Kala itu seorang pasien di Provinsi Wuhan, Hu-Bei, China didiagnosis menderita pneunomia yang tidak biasa. Pada 31 Desember, kantor Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Beijing telah menerima pemberitahuan tentang sekelompok pasien dengan pneunomia yang tidak diketahui penyebabnya dari kota yang sama (Paules. CI, 2020). Para peneliti Institute of Virology di Wuhan telah melakukan analisis metagenomics untuk mengidentifikasi virus corona baru sebagai etiologi potensial. Mereka menyebutnya novel coronavirus 2019 (nCov-2019). Selanjutnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebut virus corona sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) dan sekarang penyakitnya populer dengan istilah coronavirus disease-19 (COVID-19).
Cluster awal epidemiologi dikaitkan dengan pasar grosir makanan laut di Wu-Han. Sebuah strain baru coronavirus milik keluarga virus yang sama yang menyebabkan sindrom pernapasan akut (SARS) dan middle east respiratory syndrome (MERS). Infeksi virus sindrom pernapasan akut coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dapat menunjukkan gejala ringan hingga penyakit yang parah yang disebut Coronavirus 2019 (Covid-19) dan lebih dari 80.000 kasus yang terkonfirmasi telah dilaporkan diseluruh dunia terhitung pada 28 Februari 2020.
Menurut WHO penyakit virus terus muncul dan menjadi masalah serius bagi kesehatan masyarakat. Dalam dua puluh tahun terakhir, beberapa epidemi virus muncul seperti coronavirus pernapasan akut (SARS-CoV) dari tahun 2002 sanpai 2003 dan H1N1 tahun 2009. Baru-baru ini, sindrom coronavirus muncul di timur tengah (MERS-CoV) pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi pada 2012. Belakangan ini sebuah kasus dengan infeksi pernapasan yang tidak dapat dijelaskan dideteksi di Wuhan, kota terbesar di Provinsi Hubei, Cina yang pertama kali dilaporkan ke kantor WHO sejak 31 Desember 2019. Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit cina (CDC) dan CDCs lokal mengatur program investigasi wabah tersebut. Etiologi penyakit ini sekarang dikaitkan dengan virus baru yang berasal dari keluarga coronavirus (CoV) .
Pertengahan Februari 2020, Direktur WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumumkan bahwa penyakit yang disebabkan CoV baru ini adalah Covid-19 yaitu singkatan dari penyakit Coronavirus 2019. Dalam 20 tahun terakhir, dua epidemi cronologi telah terjadi. SARS-CoV pemicu epidemi skala besar dimulai di China dan melibatkan 24 negara dengan sekitar 8.000 kasus kematian, dan MERS-CoV yang dimulai di Arab Saudi dan megakibatkan 2.500 kasus, 800 kasus kematian dan masih menyebabkan kasus-kasus sporadis. Dalam sebuah pertemuan tanggal 30 Januari 2020 sesuai dengan peraturan kesehatan internasional, WHO menyatakan sebuah keadaan darurat kesehatan publik yang menimbulkan kekhawatiran internasional dan telah menyebar ke 18 negara.
WHO kemudian menaikan status ancaman mengenai Covid-19 ke tingkat yang sangat tinggi pada tanggal 28 Februari 2020. Kemudian pada tanggal 11 Maret 2020 jumlah kasus Covid-19 diluar Cina telah meningkat 13 kali lipat dan jumlah negara yang terlibat meningkat tiga kali lipat dengan lebih dari 118.000 kasus di 114 negara dan lebih dari 4.000 kematian. WHO menetapkan coronavirus disease (Covid-19) sebagai pandemi pada Rabu, 11 Maret 2020. Penetapan itu didasarkan pada penyebaran virus secara geografis yang telah mencapai 114 negara.
Medio awal Maret 2020 pemerintah Indonesia mengkonfirmasi kasus pertama dan kasus kedua pasien Covid-19 di Indonesia. Berikutnya kasus-kasus baru terus bermunculan, bahkan menjangkiti sejumlah pejabat publik seperti Menteri Perhubungan Budi Karya dan Walikota Bogor Bima Arya. Sebuah peringatan penting bagi kita dengan melihat bahwa situasi ini jelas membuat pemerintah dan tim medis kewalahan dalam mengatasi Covid-19. Bagaimana tidak, sejak 2 Februari sampai dengan 30 Maret terdapat 1.414 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah kasus Covid-19 terus bertambah dengan tingkat kematian 122 jiwa atau 8,6 persen. Bisa dikatakan tingkat kematian tertinggi di dunia melebihi negara-negara yang sudah lebih dulu mengonfirmasi kasus positif Covid-19. Fakta tersebut membuktikan bahwa pemerintah Indonesia tidak siap dan gagap dalam menghadapi penyebaran Covid-19.
Padahal sebelumnya pemerintah Indonesia sempat menyatakan bahwa Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena Kemenkes telah mempersiapkan antisipasinya. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat memimpin sidang kabinet mengenai antisipasi dampak perekonomian global di Istana Kepresidenan Bogor pada tanggal 11 Februari 2020 silam. Seakan bermain di atas angin, alih-alih melakukan mitigasi, pemerintah melalui menteri keuangan Sri Mulyani justru lebih memfokuskan pada upaya pencegahan ancaman anjloknya perekonomian pada sektor pariwisata, sehingga memberlakukan diskon harga tiket pesawat udara secara besar-besaran pada 25 Februari 2020. Tak pelak lagi kota-kota besar pusat perdagangan, industri dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia seketika menjadi pusat episentrum penyebaran Covid-19.
Jika kita telisik lebih dalam, gelombang krisis pandemi Covid-19 bukanlah masalah wabah dan kesehatan semata, melainkan masalah ini adalah problem yang tak terpisahkan dengan sistem ekonomi politik kapitalisme yang mendominasi dunia hari ini. Dengan gamblang dapat kita lihat beberapa tahun terakhir bagaimana krisis lingkungan (krisis ekologi) terjadi. Kenaikan suhu bumi, menipisnya lapisan ozon, peningkatan keasaman air laut, menurunnya cadangan air tawar dan berkurangnya persediaan air mentah. Peristiwa alam semacam ini menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat dunia hari ini telah menghadapi krisis ekologi yang serius. Krisis ekologi ini mengganggu keseimbangan lingkungan dan menyebabkan wabah penyakit seperti pandemic Covid-19 dapat dengan mudah menyebar.
Pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran penting bagi manusia bahwa neoliberalisme bukanlah sistem yang pantas untuk dipertahankan. Neoliberalisme menyerukan pengerukan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi pemodal dengan membuka pasar bebas dan persaingan global yang terus mengilusi masyarakat akan hadirnya kesejahteraan bagi kelompok terbawah seperti lapangan kerja yang semakin luas. Nyatanya kemunculan Covid-19 justru membuka mata kita bahwa neoliberalisme tidak menghadirkan solusi permanen bagi peradaban manusia. Sebagai dampak sistem tersebut hari ini kita menghadapi krisis ekonomi. Harga-harga kebutuhan pokok, alat pelindung diri, obat-obatan dan bahan sterilisasi melambung tinggi di pasaran. Di tengah pandemi Covid-19 ini, manusia menjadi individualistik dan kehilangan rasa simpatik terhadap sesama. Masing-masing orang saling berlomba untuk menimbun masker, hand sanitizer dan alkohol untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Keperluan yang menjadi kebutuhan utama dalam melawan Covid-19 dikapitalisasi oleh kapital dagang dan dijual kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi. Kapitalisme telah mengubah watak manusia dan menyengsarakan semua penduduk di bumi. Mengutip Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya dan Nancy Fraser dalam tulisannya Feminism for 99 Precent: A Manifesto “kapitalisme dinyatakan tidak hanya sebagai sistem ekonomi tapi sesuatu yang lebih besar dari itu: Institusionalisasi keajegan sosial yang bukan saja hanya mengatur hubungan-hubungan ekonomi tetapi yang lebih luas dari itu guna mendukung kelancaran praktik sistem ekonomi yang berlangsung” (Sumber: Magdalene.co). Kegagapan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia adalah jawaban bahwa sistem ekonomi neoliberal yang juga di agung-agungkan oleh Presiden Joko Widodo tidak mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan di negeri ini.
Salah satu proposal dari ekonomi neoliberal adalah meliberalisasi dan memprivatisasi seluruh aspek kehidupan umat manusia dalam logika pasar bebas dan hubungan dagang. Dimana dewasa ini para ekonom penganut neoliberal mengajukan dua proyek yang secara langsung berimbas pada penanganan kesehatan masyarakat di dunia yakni pemotongan subsidi kesehatan oleh negara dan privatisasi pelayanan kesehatan kepada swasta. Selain itu International Monetary Fund (IMF) dan Word Bank mengajukan pemotongan subsidi dan privatisasi dengan logika bahwa subsidi membebani anggaran negara dan tidak sejalan dengan semangat kompetitif pasar bebas. Sebagai tawaran solusinya, pelayanan kesehatan harus di swastanisasi. Selain itu pelayanan kesehatan menjadi bisnis dengan motivasi mendapatkan profit. Akibatnya, hak dasar rakyat miskin untuk memperoleh akses dan mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak, berkualitas dan murah (bahkan gratis) serta hak dasar rakyat lainnya dihilangkan. Penerapan prinsip-prinsip pasar dalam perawatan kesehatan telah mentransformasikan pelayanan publik menjadi komoditi dan menguntungkan korporasi kapital industri farmasi dan perusahaan jasa pelayanan kesehatan. Akibatnya akan meniadakan akses bagi orang miskin yang tak mampu membayar pelayanan kesehatan swasta semisal rumah sakit dan laboratorium pemeriksaan (Sumber: Indoprogress).
Belum lama ini, juru bicara Pemerintah Indonesia untuk pandemi Covid-19 Ahmad Yurianto telah menyampaikan bahwa rumah sakit swasta telah menolak menangani pasien Covid-19, sebab khawatir pesien penyakit yang lain tidak mau datang berobat. Maka jangan heran jika Indonesia yang sudah rendah dalam kualitas pelayanan kesehatan nasional semakin terpuruk akibat adanya pandemi Covid-19. Hal ini dapat dibuktikan dari persentasi kematian akibat Covid-19 di Indonesia hingga awal April 2020 ini masuk dalam urutan kedua didunia yaitu sebesar 8,6 persen mengalahkan China dan negara-negara lain yang sudah lebih dulu mengonfirmasi positif Covid-19.
Lalu bagaimana dengan Sulawesi Tengah? Pada kamis 26 Maret 2020 pukul 16.00 WITA Kepala Dinas Kesehatan Kota Palu dr. Husaema Abdul Rahman membenarkan kasus pertama warga Kota Palu positif Covid-19. Husema juga menjelaskan, pasien positif Covid-19 tersebut sebelumnya berada di jakarta untuk menemani suaminya berobat di RS Harapan Kita Jakarta yang mengalami gejala penyakit jantung dan kemudian pulang ke palu.
Sejak tanggal 23 Maret 2020, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengklaim telah mengambil beberapa langkah strategis. Pertama Gubernur Sulawesi Tengah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 443/141/DIS.KES tanggal 16 Maret 2020 tentang pencegahan dan antisipasi penyebaran Covid-19 di Sulawesi Tengah. Kedua, Gubernur Sulawesi Tengah mengeluarkan Surat Edaran No. 443 Tahun 2020 Tanggal 16 Maret 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Langkah ketiga Surat Instruksi Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 443/157/BPBD tertanggal 23 Maret 2020 yang menginstruksikan kepada para bupati dan walikota se-Sulawesi Tengah untuk mengambil langkah-langkah strategis di dalam pencegahan penyebaran Covid-19 di wilayahnya masing-masing. Keempat tanggal 23 Maret 2020 Gubernur Sulawesi Tengah juga mengeluarkan surat keputusan tentang penyiapan gedung cadangan untuk penanganan penderita Covid-19 di provinsi Sulawesi Tengah. Dan Kelima Gubernur Sulawesi Tengah mengeluarkan surat pemberitahuan pembatasan pergerakan arus barang dan penumpang kepada para Gubernur se-Sulawesi yang wilayahnya berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Tengah dan surat tersebut berlaku sejak tanggal 25 Maret hingga waktu yang belum di tentukan.
Pasca pemerintah mengumumkan situasi darurat kesehatan masyarakat dengan memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau karantina wilayah sekalipun akan berdampak menimbulkan dampak negatif yang luar biasa. Pertama, akan terjadi kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, hanscoon serta handsanitizer. Sehingga logika pasar bekerja, banyak oknum-oknum yang mulai menimbun barang keperluan tersebut secara besar-besaran dan menjual kembali dengan harga yang sangat tinggi. Seharusnya pemerintah sudah dapat mengambil tindakan untuk mengatasi kelangkaan barang-barang tersebut agar semua masyarakat baik kelas atas, menengah hingga kelas bawah dapat membeli barang-barang tersebut dengan harga normal.
Kedua, akan terjadi krisis pangan, sehingga sebelum kebijakan tersebut diambil seharusnya pemerintah memperhatikan ketersediaan bahan pangan dan lebih memfokuskan APBD untuk menanggulangi kebutuhan pangan bagi masyarakat selama diberlakukan masa PSBB atau karantina wilayah. Karena pemberlakuan PSBB dan karantina wilayah jelas akan menghilangkan sumber penghasilan bagi pekerja yang dirumahkan ataupun di-PHK oleh perusahaan serta pekerja-pekerja informal yang menggantungkan hidupnya dari proses interaksi diluar rumah (misalnya pedagang, ojek, kuli, pedagang warteg, dll).
Ketiga, pemerintah juga harus memastikan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tim medis. APD sangat diperlukan dalam melakukan penanganan Covid-19, jika persediaannya tidak cukup maka akan berdampak pada tim medis yang menangani pasien positif Covid-19 yang besar kemungkinan juga akan terpapar Covid-19.
Keempat, pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk melakukan tes massal dalam hal ini Rapid Tes dan Swab Test Covid-19 dengan tujuan agar kasus positif dapat dideteksi secepat mungkin dan dilakukan isolasi guna mencegahnya perluasan penularan pada masyarakat sehingga dapat menekan laju penyebaran Covid-19.
Kelima, pemerintah perlu melakukan keterbukaan dan ketegasan dalam menangani Covid-19. Keterbukaan yang dimaksud disini adalah baik dari segi pengetahuan tentang Covid-19, kelengkapan alat tes, sampai kesiapan tim medis dalam menangani Covid-19. Karena jika kelengkapan alat secanggih apapun tanpa didukung oleh peningkatan pengetahuan dan kapasitas tenaga medis, maka niscaya semuanya akan sia-sia. Disamping itu, pemerintah pusat dan daerah harus memberikan informasi yang real dan vallid kepada masyarakat luas sehingga masyarakat memahami situasi yang sebenarnya guna mengambil tindakan antisipasi dan mitigasi bagi masing-masing warga. Selain itu pemerintah juga harus tegas dalam menerapkan sosial distancing dan physical distancing karena ketegasan pemerintah sangat berpengaruh terhadap pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19.
Besar harapan rakyat negeri ini, terutama warga masyarakat Sulawesi Tengah agar pemerintah pusat maupun daerah serius dalam menangani bencana non alam pandemi Covid-19. Karena jika terlambat melakukan penanganan dengan benar maka penyebaran Covid-19 akan semakin sulit dihentikan dan laju tingkat penyebarannya akan berkembang dengan pesat dan akan menimbulkan lebih banyak korban jiwa lagi. Pengambilan kebijakan maupun keputusan yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap penurunan kurva penyebaran Covid-19 agar situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akan secepatnya berakhir dan keadaan dapat kembali normal seperti sediakala.
Oleh : Novilyana Onora
Sumber : Sulteng Bergerak
* Penulis sementara menempuh studi pada Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako
* Penulis adalah pemenang terbaik pertama dalam lomba menulis esai bertema “Penanganan Pandemi Covid-19 di Sulawesi Tengah” yang diselenggarakan oleh Sulteng Bergerak.