Tanggapan Terhadap Papan Peringatan di Bibir Pantai Eks Tsunami
Koordinator Sulteng Bergerak, Adriansa Manu menanggapi pemasangan papan peringatan di bibir pantai eks tsunami Kampung Nelayan, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak punya dasar hukum untuk melarang warga melakukan aktivitas di sepanjang pantai tersebut. Sebab menurutnya, peta Zona Rawan Bencana (ZRB) yang selama ini menjadi dasar pemerintah provinsi dan kota tidak memiliki payung hukum. Apalagi, saat ini proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah masih dalam proses penyusunan.
Sehingga, kata dia pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, melalui Bina Marga tidak boleh seenak perut mereka melakukan larangan terhadap aktivitas masyarakat yang juga adalah korban tsunami untuk mencari nafka di sepanjang bibir pantai talise, kampung nelayan dan taman ria.
“Jika pemerintah benar-benar serius mengurusi penataan ruang, maka harusnya semua dokumen terkait kebencanaan dibuat terlebih dahulu dan membuat instrumen hukumnya. Kalau mereka melarang tidak boleh ada aktivitas di sana, apa dasar hukumnya.” Tanya Adriansa
Kata dia, pemerintah jangan tergesa-gesa membuat aturan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Sebab kata dia, implikasinya kompleks selain karena melanggar hukum juga mengakibatkan penghancuran basis produksi warga yang selama ini hidup di sana.
Dengan demikian, menurut Adriansa pemerintah bisa saja digugat karena membuat aturan yang tidak memiliki dasar hukum.
“Warga yang merasa dirugikan bisa saja melakukan gugatan hukum kepada pemerintah. Kenapa? Karena peta ZRB yang selalu menjadi dasar pemerintah itu belum memiliki payung hukum.” Kata Adriansa
Lanjut Adriansa, peraturan daerah terkait RTRW pun sampai saat ini masih proses penyusunan. Itu pun kata dia, masih banyak catatan yang harus dipenuhi dalam dokumen ranperda RTRW Sulawesi Tengah. Salah satunya kata dia, dokumen terkait dengan kebencanaan belum dibuat sebagai dasar untuk mitigasi bencana.
“Peta ZRB yang beredar sekarang ini itu hanya peta ZRB Pasigala, itu pun banyak pihak yang masih mempertanyakan apakah peta ini benar-benar melalui kajian ilmiah yang mendalam atau hanya pedoman sementara.” Kata Adriansa
Sehingga menurutnya, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah belum dapat menggunakan peta ZRB Pasigala sebagai dasar dalam petaan ruang.
Ia, kembali menegaskan pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah jangan mengambil keputusan yang sifatnya instan hanya karena mengejar target tayang.
“Kami sudah berulang kali sampaikan bahwa perlu ada kajian resiko bencana Provinsi Sulawesi Tengah sebelum menyusun dokumen RTRW. Pertanyaannya, jika dokumen KRB belum ada, dari mana dasar pemerintah membuat aturan yang melarang warga untuk tidak melakukan aktivitas di tempat-tempat yang mereka anggap masuk zona merah?” Tanya Adriansa
Selain itu kata Adriansa, pemerintah Sulawesi Tengah juga tidak memiliki dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan dokumen kontijensi. “Pertanyaannya bagaimana nanti pemerintah kita menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi bencana.” Kata Adriansa
Lalu ia juga mempertanyakan, dari mana dasar pemerintah membuat jalur evakuasi bencana jika semua dokumen kebencanaan tidak dibuat. Termasuk, bagaimana pemerintah menentukan skema bangunan yang saat ini telah dilakukan di kota Palu.
Harusnya kata dia, pembangunan seperti infrastruktur, rumah hunian dan sebagainya yang terkait dengan ruang belum dapat dilakukan karena harus menunggu perda tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Apa lagi kata dia, kajian resiko bencana belum dilakukan sehingga dapat dipastikan bahwa rehabilitasi dan rekontruksi yang saat ini telah berlangsung di Sulawesi Tengah abai dengan mitigasi bencana.
“Jika nanti sewaktu-waktu terjadi fenomena alam lalu menimbulkan jatuhnya korban dalam jumlah masif, maka yang harus disalahkan adalah pemerintah yang mengabaikan aspek mitigasi dalam tata ruang wilayah.” Kata Adriansa