Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Tiga Daerah di Sulteng Beresiko Tinggi Terjadi Likuifaksi

PALU – Kelurahan Balaroa dan Petobo di Kota Palu serta Desa Sibalaya dan Jono Oge di Kabupaten Sigi, adalah kawasan dengan kerusakan paling parah akibat likuifaksi, saat gempabumi 28 September tahun lalu.

Namun ancaman bahaya likuifaksi tak hanya di empat tempat itu. Di Sulawesi Tengah ada beberapa titik yang teridentifikasi likuifaksi dengan tingkat kerentanan tinggi.

Badan Geologi Kementerian EDSM yang merilis atlas zona kerentanan likuifaksi di seluruh wilayah Indonesia mengungkap fakta ini.

Rilis Badan Geologi ESDM yang berlangsung di Palu, Rabu 9 Oktober 2019 itu, tak hanya memuat potensi likuifaksi Sulteng. Seluruh wilayah di Indonesia ancaman tsunami merata.

Hanya saja tingkat ancamannya yang berbeda. Ada yang kerentanan tinggi (ungu), kerentanan sedang (kuning) dan kerentanan rendah (hijau) serta warna abu-abu yang menandakan tingkat kerendahan nihil. (selanjutnya bisa dilihat di peta).

Provinsi Sulawesi Tengah potensi likuifaksi nyaris ada setiap wilayahnya. Setidaknya, hal ini terlihat dari indentifikasi ungu, kuning dan hijau yang tersemat di peta zona likuifaksi ini.

Walau demikian Badan Geologi tidak merinci secara detail titik spot kerentanan likuifaksi tersebut. ”Tidak bisa dipastikan titik mana saja. Tapi peta itu setidaknya bisa menjadi acuan ancaman likuifaksi,” terang Rudy Suhendar Kepala Badan Geologi – ESDM, Rabu 9 Oktober 2019 kepada wartawan yang mencegatnya.

Dari peta itu terlihat, titik wilayah dengan risiko tertinggi terdapat di wilayah Kota Palu dan Sigi dan bagian Pantai Timur arah Tomini. Sedangkan likuifaksi dengan ancaman sedang, sebarannya cukup besar di wilayah Sulawesi Tengah. Sedangkan hijau terlihat hanya satu titik di bagian Kabupaten Morowali.

Suhendar menyebut, kerentanan terhadap likuifaksi yang dimiliki suatu wilayah yang berada pada daerah rawan gempa kondisi tanahnya beragam. Mulai berjenis tanah pasir halus dan keberadaan air tanah yang dangkal sangat pontensial untuk terjadinya likuefaksi.

Di sisi lain banyak wilayah-wilayah perkotaan dengan kondisi tanah tersebut, salah satunya adalah Kota Palu serta beberapa kota lain di tanah air.

Peluncuran atlas zona kerentanan likuifaksi di seluruh wilayah Indonesia dirangkai dengan talkshow tentang kebencanaan serta peninjauan ke lokasi likuifaksi Balaroa.

POTENSI LIQUEFAKSI MERATA DI INDONESIA

Peta likuifaksi yang dirilis Badan Geologi ESDM, memperlihatkan likuifaksi sudah terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Setidaknya sejak tahun 1967 hingga 2018, sudah terjadi gempabumi yang disusul likuifaksi sebanyak 37 Kali. Likuifaksi yang tercatat terjadi pada 4 Desember 1967 terjadi di Provinsi Aceh tepatnya di Lhok Seumawe Sigil Tarutung, ketika terjadi gempa dengan kekuatan M 6,2.

Sedangkan likuifaksi terakhir terjadi di Sulawesi Tengah dengan gempabumi M 7,4 yang terjadi empat tempat berbeda, Petobo dan Balaroa di Kota Palu serta Desa Jono Oge dan Sibalaya di Kabupaten Sigi. Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar menyebut, dari 37 kali peristiwa likuifaksi di Indonesia, peristiwa di Sulteng adalah yang terbesar. ”Karena itu kita menjadikan Sulawesi Tengah sebagai laboratorium alam untuk penelitian likuifaksi di Indonesia,” katanya. Bahkan sebutnya, sebelumnya daerah ini pernah mengalami peristiwa yang sama, saat likuifaksi terjadi di Lembah Napu Poso, pada 29 Mei 2017 ketika terjadi gempabumi berkekuatan 6 SR.

Dari peta likuifaksi juga terlihat, potensi likuifaksi yang terjadi di seluruh Indonesia dengan tingkat ancaman sedang. Provinsi DKI Jakarta misalnya, likuifaksi dengan risiko sedang, dominan terdapat di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Sedangkan Jakarta Selatan dan Timur, potensinya rendah. Sumatera Utara terdapat beberapa kawasan dengan potensi tinggi. Di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, potensi likuifaksi dengan risiko tinggi terdapat di satu titik.

Secara umum potensi likuifaksi dengan kerentanan tinggi ada di sejumlah provinsi namun tidak dominan. Sekdaprov Sulteng Hidayat Lamakarate pada kesempatan ini mengatakan, mitigasi bencana untuk likuifaksi adalah dengan menghidupkan kembali cerita warisan leluhur. Salah satunya adalah dengan mengenali karakter alam melalui penamaan kawasan yang dilakukan para orang tua terdahulu. Musibah di Sulteng kata dia menjadi pelajaran penting, untuk tidak mengabaikan kearifan lokal warisan para tokoh terdahulu. ***

Penulis : Yardin Hasan

Sumber : kabarsultengbangkit.id

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*